JAKARTA, KOMPAS.com - Tim advokasi Papua menyebut ada tindak kekerasan yang terjadi dalam pembubaran dan penangkapan massa aksi di depan Gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS).
Tim advokasi menyebut pembubaran massa aksi oleh aparat kepolisian dilakukan secara paksa dan tanpa dasar.
"Pada saat pembubaran, terdapat massa aksi yang terkena pukulan di bagian mata, diinjak, ditendang, dan dua orang perempuan Papua mengalami pelecehan seksual," tulis tim advokasi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/9/2021) malam.
Berdasarkan keterangan tim advokasi, massa aksi dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan berbagai elemen masyarakat sipil tiba di depan Gedung Kedubes AS, Kamis (30/9/2021) sekitar pukul 11.00 WIB.
Baca juga: Kapolri Didesak Minta Maaf soal Penangkapan 17 Aktivis Papua yang Demo di Kedubes AS
Aksi itu dilakukan untuk menuntut pembatalan New York Agreement, pembebasan semua tahanan politik Papua, dan penarikan militer dari Papua.
Saat mereka mulai menyampaikan aspirasi untuk menuntut sejumlah isu terkait Papua, aparat langsung memerintahkan massa aksi untuk membubarkan diri dengan alasan situasi Covid-19.
Menurut tim advokasi, sempat terjadi aksi pelemparan gas air mata di lokasi demo saat polisi membubarkan massa.
"Salah satu massa aksi yang tidak tahan dengan gas air mata dilempar oleh pihak polisi keluar dari mobil dan terluka di bagian kakinya. Sedangkan massa aksi yang lain harus berdesakan di dalam mobil karena pintu terkunci dari luar," ungkapnya.
Menurut tim advokasi, kejadian tersebut adalah pelanggaran terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Baca juga: Diperiksa Polisi Semalaman, 17 Aktivis Papua Akhirnya Dilepas Tanpa Status Tersangka
Adapun tim advokasi Papua terdiri dari perwakilan Papua itu Kita Michael Himan, perwakilan LBH Jakarta Citra Referandum, perwakilan LBH Masyarakat Nixon Randy, dan perwakilan Kontras, Abimanyu Septiadji.
Selanjutnya tim advokasi juga menilai pembubaran secara paksa dengan cara kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan bentuk pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Selain itu, juga melanggar Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Maka dari itu, tim advokasi Papua secara keras mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bertindak dan minta maaf.
"Melakukan tindakan tegas baik secara etik, disiplin, dan pidana atas pelanggaran dan kekerasan fisik, psikis, seksual yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat kepada massa aksi," tegasnya.
Baca juga: Ditangkap Saat Unjuk Rasa, Aktivis Papua: Polisi Rasis dan Diskriminatif
Diketahui, pada Kamis (30/9/2021), polisi membubarkan dan menangkap aktivis Papua yang akan melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Pusat.
Salah satu peserta aksi, Ambrosius Mulait, mengungkapkan bahwa massa aksi yang berjumlah 17 orang langsung diangkut paksa begitu tiba di depan Kedubes AS.
Para peserta unjuk rasa itu baru dilepas pada Jumat (1/10/2021), setelah diperiksa sekitar 18 jam.
"Baru tadi pagi jam 07.45 WIB pagi dibebaskan tanpa ada status apa pun, tidak ada status tersangka," kata Citra Referandum, pengacara dari LBH Jakarta yang ikut mengadvokasi para aktivis yang ditangkap, Jumat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.