JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta menerbitkan peraturan pelaksana yang menjamin alternatif pemidanaan non-pemenjaraan. Upaya tersebut untuk mengatasi masalah kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) atau overcrowding.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, beragam instrumen hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuka peluang adanya alternatif pemidanaan serta penahanan.
"Dalam konteks pemerintah untuk memastikan menerbitkan segera peraturan pelaksana yang akan mengoptimalkan alternatif-alternatif tersebut," kata Maidina, dalam diskusi daring, Selasa (21/9/2021).
Baca juga: ICJR Sebut Masalah Kelebihan Penghuni Lapas akibat Overkriminalisasi
Maidina mencontohkan ketentuan soal tahanan kota dan tahanan rumah pada Pasal 22 ayat (1) KUHAP. Ada pula penangguhan penahanan dengan jaminan orang atau jaminan uang pada Pasal 31 ayat (1), Pasal 59, Pasal 60, dan Pasal 123 KUHAP serta Pasal 35 dan 36 PP 27/1983.
Selain itu, dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak ada konsep diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
"Namun, kita punya kekurangan dalam peraturan pelaksana, sehingga alternatif-alternatif ini tidak mampu dioptimalkan oleh aparat penegak hukum," ucapnya.
Maidina memaparkan beberapa langkah yang dapat segera dieksekusi pemerintah untuk mengatasi kelebihan penghuni lapas dan rutan.
Salah satunya, memberikan amnesti atau grasi massal kepada orang-orang yang terjerat Pasal 111, 112, dan 114 ayat (1) UU Narkotika.
"Kita perlu menyuarakan rekomendasi tersebut dilaksanakan berbasis penilaian kepentingan kesehatan. Ini sangat perlu disuarakan saat ini di mana ada 130.000 orang lebih yang berasal dari tindak pidana narkoba yang dikirim ke penjara," tuturnya.
Baca juga: Tekan Kelebihan Penghuni Lapas, Komnas HAM Usul Pemakai Narkoba Dihukum Denda
Solusi lain yakni merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, khususnya pada materi tindak pidana narkotika.
Selain itu, pemerintah juga dapat menginstruksikan secara langsung kepada kejaksaan dan kepolisian agar fokus mengoptimalkan pidana alternatif non-pemenjaraan, khususnya bagi pengguna narkotika.
"Ada alternatif yang disediakan Pasal 14 a dan c KUHP. Bisa diserukan pemerintah kepada jajaran kepolisian dan kejaksaan untuk mengarusutamakan penggunaan alternatif tersebut," ujar Maidina.
Berikutnya, pemerintah dan DPR perlu melakukan percepatan reformasi hukum. Salah satu yang utama yakni merevisi UU Narkotika dengan menjamin dekriminalisasi dengan intervensi kesehatan, tidak hanya rehabilitasi dalam lembaga.
"Isinya harus menjamin dekriminalisasi dengan intervensi kesehatan di mana kesehatan menjadi pendekatan utama. Konteks rehabilitasi hanya dipahami dalam bentuk lembaga dan rehabilitasi hanya dipahami dalam bentuk hukuman, harus mulai dibahas dalam revisi UU Narkotika," kata dia.
Baca juga: Lapas Kelebihan Penghuni, Komisi III Soroti Sistem Pemidanaan yang Bergantung Pidana Penjara
Kemudian, Maidina menyoroti perlunya revisi KUHAP mengenai ketentuan penahanan. Menurut dia, perlu ada pembatasan kewenangan penahanan dan perluasan alternatif penahanan dan penangguhan.
"Kita lihat keputusan penahanan hanya diberikan kepada aparat penegak hukum, padahal dalam konteks pembaruan hukum maka seharusnya ada peran hakim pemeriksa pendahuluan dan lembaga peradilan untuk menentukan apakah suatu penahanan layak atau tidak," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.