Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Mereka yang Meninggal dalam Aksi #ReformasiDikorupsi

Kompas.com - 20/09/2021, 13:08 WIB
Wahyuni Sahara

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pada September 2019 lalu terjadi aksi unjuk rasa bertajuk #ReformasiDikorupsi di Gedung DPR RI.

Mengutip Kompas.id, saat itu, mahasiswa dari berbagai penjuru datang untuk menuntut pembatalan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.

Poin-poin pengubahan yang menyandera kewenangan utama lembaga antirasuah tersebut diprediksi akan berujung pada pelemahan, bahkan pembubaran KPK. Padahal, KPK yang merupakan anak kandung reformasi masih menjadi simbol harapan untuk perbaikan negara.

Pasca-reformasi 1998, bangsa ini berkomitmen untuk mengelola negara secara lebih bersih. Selama puluhan tahun masyarakat terjebak dalam jurang ketimpangan karena kekayaan negara tak didistribusikan secara merata, tetapi justru dikorupsi kaum elite.

Baca juga: Menilik Kembali Aksi #ReformasiDikorupsi Dua Tahun Lalu...

Setelah puluhan tahun reformasi, cita-cita yang susah payah dibangun itu hendak dikubur. Bukan hanya dengan revisi UU KPK, tetapi juga pemilihan pimpinannya yang dinilai banyak kalangan sarat dengan persoalan.

Bagaimana tidak, penolakan terhadap revisi UU KPK dan RUU lain, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba, sudah sering disuarakan elemen masyarakat sipil.

Sejumlah guru besar lintas perguruan tinggi juga melakukan hal yang sama, bahkan untuk menolak revisi UU KPK, surat resmi telah dilayangkan ke DPR. Namun, semua masukan dari publik itu tak digubris.

Tak hanya itu, anggota DPR sempat meremehkan suara mahasiswa. Mereka menolak untuk menemui massa mahasiswa yang menggelar aksi damai pada Kamis, 19 September 2019.

Baca juga: #ReformasiDikorupsi hingga #MosiTidakPercaya yang Warnai Setahun Jokowi-Maruf...

Tak heran jika bara kemarahan mahasiswa akhirnya terbakar. Mereka rela menunda kuliahnya, berjalan jauh di tengah terik matahari, menghabiskan suara untuk berorasi, demi melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan DPR dalam menyusun legislasi.

Tak peduli pula dengan risiko unjuk rasa akan berujung ricuh yang membuat keselamatan mereka terancam.

Awalnya aksi #ReformasiDikorupsi hanya di Jakarta, kemudian berkembang menjadi aksi nasional.

Serangkaian aksi yang terjadi mulai dari 23-30 September 2019 ini berlangsung di berbagai kota besar di Indonesia seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, dan Palu.

Baca juga: Tak Hanya 7 Tuntutan, Kini Demo Mahasiswa dan Buruh Ajukan 7+1 Tuntutan Reformasi Dikorupsi

Rangkaian aksi itu pun diwarnai kericuhan antara aparat dan peserta aksi. Sejumlah video yang beredar di media sosial, tampak jelas polisi melayangkan pukulan, tendangan dan benda tumpul ke arah demonstran yang sudah tidak berdaya.

Di Jakarta, sekitar 90 demonstran dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sebanyak 3 di antaranya mengalami luka serius pada bagian kepala sehingga membutuhkan perawatan intensif lebih lama dibandingkan yang lainnya.

Di daerah, kondisinya nyaris serupa. Demonstrasi awalnya berujung damai, namun ujung-ujungnya bentrok dengan aparat.

5 orang meninggal

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada lima orang yang meninggal akibat aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu. Kelima korban tersebut adalah:

  1. Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO)
  2. Immawan Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO)
  3. Maulana Suryadi, pemuda asal Tanah Abang
  4. Akbar Alamsyah, pelajar
  5. Bagus Putra Mahendra, pelajar

Baca juga: Korban Kekerasan Aparat dalam Aksi Reformasi Dikorupsi Mengadu ke Ombudsman

Randi dan Yusuf

Randi dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembak di dada sebelah kanan pada 26 September 2019.

Ketua tim dokter forensik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Kendari, Raja Al Fatih Widya Iswara, mengatakan, Randi tewas setelah mengalami luka tembak peluru tajam.

"Peluru masuk dari ketiak kiri melewati jalur panjang dan bengkok, menembus organ paru-paru kanan dan kiri, pembuluh darah, dan bagian mediastinum, yakni organ di antara rongga paru kanan dan kiri," kata Al Fatih.

Baca juga: Ini Sosok Randi dan Yusuf, 2 Mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari yang Tewas Saat Demo

Sementara itu, KontraS menduga Yusuf juga tewas akibat ditembak di depan gedung Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Tenggara, 26 September 2019.

"Diduga penembakan pertama terjadi terhadap Yusuf di pintu samping Disnakertrans, disusul dengan penembakan Randi," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras, Yati Andriyani, di kantornya, Jakarta, Senin (14/10/2019).

Investigasi KontraS dilakukan dengan metode wawancara saksi mata di lapangan. KontraS juga melakukan komunikasi dengan lembaga Ombudsman dan tim kuasa hukum korban serta kroscek dengan media di lokasi kejadian.

Baca juga: Ini Sosok Randi dan Yusuf, 2 Mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari yang Tewas Saat Demo

Maulana Suryadi

Maulana Suryadi meninggal dengan bersimbah darah usai mengikuti demo di sekitar gedung DPR RI pada 25 September 2019. Awalnya orang tua Maulana tidak mengetahui bahwa anaknya telah meninggal. 

Orang tuanya baru tahu ketika polisi menjemputnya untuk melihat jenazah Maulana di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

Saat itu, tangis ibu Maulana, Maspupah, pecah kala melihat tubuh anaknya telah kaku dan biru.

Maspupah pun diminta menandatangani surat oleh polisi. Dia tidak ingat jelas isi suratnya. Namun, yang dia ingat surat itu berisi keterangan bahwa anaknya meninggal karena asma.

"Isi suratnya bilang kalau Maulana Suryadi kena gas air mata dan asma," kata dia.

Baca juga: Cerita Malam Terakhir Maulana Suryadi hingga Tewas di Tengah Kerusuhan di Sekitar DPR

Maspupah mengakui anaknya memang punya latar belakang asma. Namun, kecurigaan Maspupah kembali muncul ketika jenazah anaknya hendak dimandikan dan disalatkan.

Terlihat banyak luka pukul pada bagian belakang tubuh Maulana. Darah bahkan kerap keluar dari telinga dan hidung. Dia pun geram, kesal dan sedih karena melihat keadaan tersebut. Dia ingin mencari keadilan, namun sadar dia bukan siapa-siapa dan tidak tahu harus menuntut ke mana.

"Saya enggak terima kalau anak saya dipukulin sampai meninggal. Dunia akhirat saya enggak terima. Tapi kalau anak saya meninggal karena penyakit dan kehendak Allah, saya ikhlas," kata Maspupah.

Tim Forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati sebelumnya memastikan tak ada tanda kekerasan pada jasad Maulana.

Akbar Alamsyah

Akbar dinyatakan tewas setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat pada 10 Oktober lalu.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, Akbar pertama kali ditemukan dalam keadaan tergeletak di trotoar di kawasan Slipi, Jakarta Barat dengan kondisi terluka. Akbar ditemukan pertama kali pada 26 September pukul 01.30.

Namun, tak dijelaskan secara detail jenis luka yang diderita Akbar saat pertama kali ditemukan. Selanjutnya, Akbar dibawa ke Polres Jakarta Barat untuk mendapatkan perawatan medis di Urusan Kesehatan (Urkes). Argo mengatakan, pada pukul 07.55 WIB, Akbar dilarikan ke Rumah Sakit Pelni untuk mendapatkan perawatan medis.

Baca juga: Pernyataan Polisi soal Akbar Alamsyah Kerap Berubah, Ini 3 Buktinya...

Di sana, Akbar hanya dirawat selama sehari karena dia langsung dirujuk ke Rumah Sakit Polri. Akbar menjalani perawatan di Rumah Sakit Polri selama tiga hari sebelum dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto.

"(Akbar dirawat) sekitar tiga hari, kemudian pada tanggal 30 September (Akbar) dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat untuk dirawat," ujar Argo.

Namun, pada 10 Oktober 2019, Akbar dinyatakan meninggal dunia oleh tim dokter RSPAD. Argo mengaku belum mendapatkan informasi dari pihak dokter terkait penyebab kematian korban. Dia hanya mengungkapkan, Akbar menderita luka pada bagian kepala.

Pendapat lainnya terkait penyebab kematian Akbar juga disampaikan Mabes Polri. Mabes Polri mengklaim, Akbar Alamsyah bukan korban kekerasan polisi. Tetapi, Akbar terluka akibat jatuh saat menghindari kerusuhan massa.

Baca juga: Kronologi Keluarga Vs Polisi, dari Penemuan Akbar Alamsyah hingga Dinyatakan Meninggal Dunia

Bagus Putra Mahendra

Bagus tewas setelah ditabrak truk trailer di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara pada 25 September ketika hendak mengikuti aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI.

Keinginan Bagus untuk mengikuti aksi unjuk rasa tersebut tak diketahui keluarga. Pasalnya, Bagus hanya meminta izin untuk berangkat ke sekolah pada ibunya.

Hal itu diakui bibi dari Bagus, Fina Indah Sari (29), saat ditemui di rumah duka di kawasan Warakas, Jakarta Utara, Kamis (26/9/2019).

Kala itu, Bagus berangkat dengan mengendarai sepeda motornya. Namun, tak ada yang mengetahui apakah dia benar-benar sampai ke sekolah.

Baca juga: Perjalanan Bagus Putra Mahendra, Demonstran yang Tak Akan Pernah Sampai ke DPR...

Kabar meninggalnya Bagus pun viral di media sosial. Dalam postingan yang beredar, polisi disebut-sebut sebagai penyebab kematian Bagus karena Bagus berusaha menghindar dari kejaran polisi.

Kendati demikian, informasi tersebut dibantah oleh Plt Kanit Lakalantas Polres Jakarta Utara Ipda Farmal. Farmal mengatakan, kejadian yang menimpa Bagus merupakan murni kecelakaan.

"Tidak ada aparat yang mengejar saat kejadian," ujar Farmal saat dikonfirmasi.

Farmal mengatakan peristiwa kecelakaan itu bermula ketika sebuah truk kontainer sedang melaju di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara.

Baca juga: Viral di Medsos, Polisi Benarkan Bagus Putra Mahendra Tewas Saat Menuju Gedung DPR

Sopir diduga kurang hati-hati sehingga truk yang dibawanya menabrak Bagus. Ketika itu, Bagus sedang berjalan dari arah selatan menuju utara.

Bagus mengalami luka parah di bagian punggung akibat kecelakaan tersebut. Bagus pun sempat dibawa ke RS Sulianti Saroso untuk penanganan lebih lanjut.

Namun, nyawa Bagus sudah tidak bisa ditolong lagi dan dinyatakan tewas. Pihak keluarga Bagus memutuskan untuk memakamkan jenazahnya di Brebes, Jawa Tengah.

Nama Yusuf dan Randi diabadikan di KPK

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif membuka tirai tanda peresmian nama Auditorium Randi-Yusuf di Gedung ACLC KPK, Kamis (19/12/2019).KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D Wakil Ketua KPK Laode M Syarif membuka tirai tanda peresmian nama Auditorium Randi-Yusuf di Gedung ACLC KPK, Kamis (19/12/2019).

Nama Yusuf dan Randi diabadikan menjadi nama ruangan auditorium di gedung KPK. Ruangan Auditorium Randi-Yusuf diresmikan oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pada 19 Desember 2019.

Laode mengatakan, penamaan ruangan menggunakan nama kedua mahasiswa itu merupakan simbolisasi sekaligus pengingat bahwa KPK selalu mengalami serangan.

"Kenapa gedung ini penting dan khususnya ruangan ini penting? Usman (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid) dan saya pernah tidur di sini, jauh sebelum saya menjadi Komisioner KPK, ketika KPK selalu mau diserang. Jadi serangan terhadap KPK itu secara historis struktur, sistematis dan masif," ujar Laode.

"KPK itu lahir dari air mata dan darah, dan untuk mempertahankannya pun masih seperti itu. Jadi perjuangan kita masih panjang," lanjut Laode.

Baca juga: Nama Yusuf dan Randi Diabadikan di Ruangan Auditorium Gedung KPK

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menambahkan diabadikannya nama Yusuf dan Randi sebagai nama ruangan di Gedung ACLC KPK juga diharapkan dapat menginspirasi generasi muda dalam melawan korupsi.

"Mudah-mudahan dengan ini, menginspirasi anak muda dan kita bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia dan yang mereka perjuangkan adalah pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan seterusnya," kata Saut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Nasional
Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Nasional
Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Nasional
Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com