Bentuk tim investigasi
Agar tidak menimbulkan kontroversi, pada Oktober 2020 pemerintah memutuskan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) guna mengusut tewasnya Pendeta Yeremia Zanambani.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, selain bertujuan untuk menggali kasus pembunuhan Pendeta Yeremia, tim investigasi ini juga akan mempelajari kasus tewasnya warga sipil lainnya.
"(Ini) sehubungan dengan terjadinya peristiwa pembunuhan di Intan Jaya, Papua, yang menewaskan dua orang TNI (akibat kontak senjata) yang dilakukan KKB dan tewasnya satu orang sipil, serta seorang pendeta, jadi dua warga sipil," ujar Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (1/10/2020).
Baca juga: Pemerintah Bentuk Tim Investigasi Gabungan Kasus Penembakan Pendeta Yeremia
TGPF yang diisi oleh pejabat pemerintahan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga akademisi kemudian membuahkan hasil. TGPF itu mengungkap adanya adanya keterlibatan aparat dalam penembakan Pendeta Yeremia. Namun, TGPF masih membuka kemungkinan dilakukan oleh pihak ketiga.
Sementara itu, menurut temuan Komnas HAM, pelaku langsung penyiksaan dan/atau pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) terhadap Pendeta Yeremia diduga adalah oknum petinggi TNI Koramil Hitadipa.
Sebelumnya, keluarga Pendeta Yeremia menolak autopsi karena alasan budaya. Keluarga percaya bahwa jenazah yang sudah dimakamkan, tidak boleh diangkat dari liang kuburnya.
Apabila jenazah diangkat lagi, menurut kepercayaan masyarakat setempat, akan menimbulkan musibah bagi keluarga almarhum.
Selain itu, keluarga menilai, keterangan saksi termasuk warga sekitar, keterangan ahli, petunjuk, dan barang bukti, dirasa cukup untuk mengungkap perkara tersebut.
Namun, kemudian pada awal tahun 2021 keluarga Pendeta Yeremia menyetujui autopsi dengan sejumlah syarat.
Baca juga: TGPF: Keluarga Akhirnya Izinkan Autopsi Jenazah Pendeta Yeremia
Syarat pertama, autopsi dilakukan oleh tim medis yang independen, yang disetujui oleh pihak keluarga korban. Syarat kedua, autopsi harus dilakukan secara adil dan transparan dengan pengamatan keluarga korban, kuasa hukum korban dan saksi, serta sejumlah lembaga independen.
Adapun lembaga independen yang dimaksud, yakni Komnas HAM, Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua, Amnesty International Indonesia, DPRD Kabupaten Intan Jaya, dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).
Terakhir, pihak keluarga meminta agar autopsi dilakukan di Hitadipa, Intan Jaya.