Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbagai Kebijakan yang Lemahkan Pemberantasan Korupsi...

Kompas.com - 17/09/2021, 13:05 WIB
Wahyuni Sahara

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemberantasan korupsi di Tanah Air semakin mengkhawatirkan. Sejumlah kebijakan terkait dengan pemberantasan korupsi dilemahkan. Hal ini disayangkan sejumlah pakar hukum dan pegiat antikorupsi.

Terbaru, Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset gagal masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas. Padahal, Presiden Joko Widodo sebelumnya menunjukkan komitmen dengan menyetujui RUU Perampasan Aset bisa dibahas di DPR.

Dalam rapat di DPR, Rabu (16/9/2021), pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengusulkan lima RUU untuk masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021. Namun, dari lima usulan itu hanya tiga yang disetujui.

Baca juga: Kecewa RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas Prioritas, PPATK Ingatkan Komitmen DPR-Pemerintah

Tiga RUU itu ialah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. RUU Perampasan Aset dan RUU Badan Pemeriksa Keuangan ditolak.

Kegagalan ini kembali menunjukkan RUU Perampasan Aset belum menjadi prioritas. Draf RUU Perampasan Aset selesai disusun sejak tahun 2012. Namun, RUU itu tidak pernah masuk Prolegnas tahunan. 

Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, saat dihubungi Kompas.id pada Kamis (16/9/2021), mengatakan, tidak masuknya RUU Perampasan Aset dalam perubahan prolegnas menunjukkan masih lemahnya komitmen pembuat UU untuk memperkuat regulasi pemberantasan korupsi.

Baca juga: RUU Perampasan Aset Gagal Masuk Prolegnas Prioritas, Janji Jokowi Tak Terealisasi

Jika disahkan, RUU Perampasan Aset akan lebih kuat dibandingkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sebab, menurut dia, fokus utama RUU tersebut adalah mengembalikan aset negara dengan obyek hukum aset, bukan pelaku.

RUU ini dapat digunakan untuk merampas aset yang tidak seimbang dengan penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah.

Baca juga: Baleg Setuju 4 RUU Masuk Prolegnas Prioritas 2021, Salah Satunya Revisi UU ITE

Bahkan, aset dalam perkara pidana yang tidak dapat disidangkan atau diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi asetnya belum dirampas untuk memulihkan kerugian negara, juga tetap bisa dirampas.

”Melihat dari proses RUU ini, sepertinya pemerintah sudah mendorong supaya bisa masuk Prolegnas dan segera dibahas bersama DPR. Namun, ternyata masih ada ketakutan dari DPR. Mungkin mereka takut ini bisa jadi seperti senjata makan tuan seperti UU KPK dulu,” kata Hibnu.

TWK KPK

Sebelumnya, upaya pelemahan pemberantasan korupsi lainnya di negeri ini adalah melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK. TWK merupakan proses alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

TWK dianggap sebagai upaya menyingkirkan para penyidik yang memiliki integritas dan sedang menangani sejumlah kasus korupsi besar.

Alih status kepegawaian menjadi ASN dan TWK untuk para pegawai KPK dinilai sebagai kebijakan yang didesain untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Baca juga: Jokowi Dulu Tegas soal TWK KPK, Kini Dinilai Mulai Lepas Tangan...

Ketidaklulusan sejumlah pegawai dan penyidik dalam tes ini disebut telah dirancang sejak awal sebagai babak akhir upaya memberangus KPK.

Dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti TWK, 1.274 di antaranya dinyatakan memenuhi syarat, sedangkan 75 tidak.

Sejumlah kalangan menentang upaya penyingkiran para pegawai dan penyidik KPK. Dukungan terhadap 75 pegawai dan penyidik KPK terus mengalir dari publik, mulai dari aktivis hingga akademisi.

Sejumlah guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mendesak KPK membatalkan hasil TWK. Para guru besar ini menilai pelaksanaan tes itu melanggar hukum dan etika publik.

Baca juga: Pasca-putusan MK dan MA, Presiden Jokowi Dinilai Perlu Bersikap soal Polemik TWK

Namun akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dari 75 pegawai yang tidak lulus tersebut, 51 di antaranya dinilai merah dan akan diberhentikan. Dari 51 pegawai tersebut, ada satu pegawai yang memasuki purnatugas per Mei 2021, sehingga pegawai itu tidak ikut diberhentikan dengan hormat.

Sementara itu, ada 24 pegawai lainnya dianggap masih bisa dibina dan diberi kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) bela negara.

Baca juga: Usai Putusan MA, Presiden Dinilai Berwenang Angkat Pegawai KPK Tak Lolos TWK Jadi ASN

Namun, dari 24 pegawai tersebut, hanya 18 orang yang bersedia mengikuti diklat dan lulus menjadi ASN. Sehingga total yang diberhentikan dengan hormat oleh KPK akibat TWK ini adalah sebanyak 56 orang.

“Memberhentikan dengan hormat 50 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat per tanggal 30 September 2021,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Rabu (15/9/2021).

"Enam pegawai KPK yang dinyatakan TMS dan diberi kesempatan mengikuti Diklat namun tidak mengikutinya, maka tidak bisa diangkat menjadi ASN dan akan diberhentikan dengan hormat,” lanjut Alex.

Revisi UU KPK 

Upaya pelemahan lainnya adalah melalui revisi UU KPK yang disahkan pada 17 September 2019 lalu. Revisi UU KPK menjadi salah satu tonggak upaya pelemahan KPK yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

Sejak 2009, DPR dan pemerintah berulangkali mengusulkan agar UU KPK direvisi. Pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), upaya untuk merevisi UU KPK selalu datang dari DPR, namun kandas karena ditolak SBY.

Upaya revisi UU KPK tersebut terus berlanjut pada masa pemerintahan Jokowi. Sejak 2015, DPR bersama pemerintah silih berganti mengusulkan revisi UU KPK dan menemui ujungnya pada September 2019.

Baca juga: Revisi UU KPK Dinilai Timbulkan Krisis Integritas dan Demoralisasi di KPK

Pemerintah beralasan, revisi dilakukan karena KPK menghambat investasi. Namun kuat dugaan, revisi dilakukan karena elite politik dan DPR gerah dengan sepak terjang KPK khususnya terkait penyadapan.

Pasalnya, KPK berulang kali menyadap pejabat pemerintah dan anggota DPR. Dalam beberapa kali upaya revisi dilakukan, pemerintah dan DPR selalu mempersoalkan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK.

Dari catatan Kompas, DPR dan pemerintah merampungkan pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam waktu dua pekan. Total, hanya lima kali rapat yang diketahui publik.

Baca juga: YLBHI: Kita Perlu Uji Sistem Baru Hasil Revisi UU KPK

Ironisnya, dalam proses revisi tersebut, pimpinan KPK saat itu tidak pernah dilibatkan secara penuh. ”Kami hanya sekali mendapatkan surat untuk mewakili KPK, setelah itu tidak ada lagi surat yang diterima,” ujar Wakil Ketua KPK 2015-2019 Laode M Syarif.

Bagi Laode, tidak dilibatkannya KPK dalam revisi aneh. Sebab, KPK yang bertugas melaksanakan UU tersebut.

KPK sempat mengirim surat kepada DPR agar tidak mengesahkan undang-undang tersebut sampai diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan. Namun, KPK tidak diberikan kesempatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Nasional
Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

Nasional
Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Nasional
MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

Nasional
Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Nasional
Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Nasional
Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Nasional
Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Nasional
Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Nasional
Soal Pengembalian Uang Rp 40 Juta ke KPK, Nasdem: Nanti Kami Cek

Soal Pengembalian Uang Rp 40 Juta ke KPK, Nasdem: Nanti Kami Cek

Nasional
Kubu Anies-Muhaimin Minta 4 Menteri Dihadirkan Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Kubu Anies-Muhaimin Minta 4 Menteri Dihadirkan Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com