JAKARTA, KOMPAS.com – Pihak Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan, turunnya permukaan tanah di pesisir utara Pulau Jawa lebih mengkhawatirkan dibandingkan bagian selatan Jawa yang struktur geologinya cenderung berbukit.
Penurunan permukaan tanah itu membuat kota-kota di sekitar pesisir utara Jawa lebih cepat tenggelam.
“Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya adalah kota-kota pesisir utara Jawa yang paling rawan terhadap penurunan tanah ekstrem hingga tahun 2050," kata Peneliti Ahli Utama BRIN, Eddy Hermawan di sebuah webinar, seperti dikutip dari Kontan, Kamis (15/9/2021).
Ia mengatakan, daerah pesisir yang memiliki morfologi daerah pesisir relatif datar membuat hampir seluruh aktivitas pembangunan infrastruktur jalan dan perekonomian dipusatkan di bagian utara Jawa.
Menurut dia, hal tersebut memberikan beban lebih kepada tanah karena adanya bangunan dan penyedotan atas penggunaan air tanah yang lebih banyak dibandingkan daerah lainnya.
"Untuk itu, upaya mitigasi dengan kebijakan penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan harus segera dilakukan,” ucap Eddy.
Selanjutnya, Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh BRIN Rokhis Khomarudin menegasakan hal senada.
Ia menyebut, dampak perubahan iklim terhadap pesisir utara Pulau Jawa semakin tinggi dengan adanya penurunan permukaan tanah di wilayah tersebut.
Baca juga: Sempat Banjir, Perbaikan Jalur Kereta Api di Lintas Utara Jawa Dikebut
Rokhis mengatakan, manusia menjadi faktor penyebab penurunan tanah yang sangat signifikan.
"Walaupun saat ini dampaknya belum terlalu terasa, namun risiko turunnya permukaan tanah jelas membawa kerugian besar, baik dari sisi sosial maupun ekonomi bagi negara kepulauan seperti Indonesia,” kata dia.
Lebih lanjut, Rokhis memaparkan, berdasarkan hasil pemantauan citra satelit, terbukti terjadi penurunan muka tanah di bagian pesisir utara Jawa setiap tahunnya.
Wilayah DKI Jakarta antara 0,1 cm hingga 8 cm per tahun, Cirebon antara 0,3 cm hingga 4 cm per tahun, Pekalongan antara 2,1cm hingga 11 cm per tahun, Semarang antara 0,9 hingga 6 cm per tahun, dan Surabaya antara 0,3 hingga 4,3 cm per tahun.
Oleh karena itu, menurut dia diperlukan monitoring terhadap penurunan tanah dan laju perubahan garis pantai akibat perubahan ketinggian air laut.
Selain itu, berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim tahun 2021, kerentanan kawasan Asia Tenggara terhadap kenaikan permukaan air laut lebih cepat terjadi dibandingkan daerah lain.
Baca juga: Atasi Gelembung Gas di Pantai Utara Jawa, Ini Langkah Pertamina
Kejadian itu juga semakin diperburuk oleh pergeseran tektonik dan efek surutnya air tanah.
Pakar Iklim dan Meteorologi BRIN, Edvin Aldrian mengatakan, hilangnya wilayah pesisir dan kemunduran garis pantai di Asia Tenggara telah diamati selama 1984-2015.
Edvin menegaskan, kenaikan air laut tak terlepas dari fenomena mencairnya es di kutub bumi dan pemuaian air laut karena pemanasan global sehingga mengakibatkan penambahan volume air laut.
"Ini membuat kejadian banjir lebih sering di daerah pantai. Ditambah lagi Tingkat Total Ekstrim Air (Extreme Total Water Level/ETWL) lebih tinggi di daerah dataran rendah dan erosi pantai mulai terjadi di sepanjang pantai berpasir,” ucap Edvin.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.