JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menjelaskan adanya konsekuensi serius jika Presiden Joko Widodo menganggap masalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya persoalan administratif.
Kurnia mengatakan konsekuensi pertama adalah Jokowi dinilai tidak konsisten dengan pernyataannya.
Sebab Mei lalu, Jokowi telah mengatakan agar hasil TWK tidak serta merta dijadikan alasan untuk memberhentikan pegawai KPK.
Baca juga: Saat TWK Berujung Pemberhentian 56 Pegawai KPK…
“Kedua, Jokowi tidak memahami permasalahan utama di balik TWK,” ucap Kurnia dalam keterangan tertulis, Kamis (16/9/2021).
Dalam pandangan Kurnia, Jokowi tidak paham bahwa puluhan pegawai KPK diberhentikan dengan dalih tidak lolos TWK.
“Padahal di balik TWK ada siasat yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas di KPK,” sebutnya.
Kurnia menungkap konsekuensi selanjutnya adalah Jokowi dianggap tidak berkontribusi pada penguatan KPK.
Pada tahun 2019, sambung Kurnia, Jokowi juga menyetujui revisi Undang-Undang KPK yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 dan memilih Komisioner KPK yang bermasalah.
“Padahal Presiden punya kewenangan untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Sama seperti saat ini, berdasarkan regulasi, Presiden bisa menyelamatkan KPK dengan mengambil alih kewenangan birokrasi di lembaga antirasuah itu,” kata dia.
Konsekuensi terakhir, tutur Kurnia, Jokowi akan diingat sebagai Presiden yang abai pada isu pemberantasan korupsi.
Sebab penegakan hukum yang dilakukan KPK menjadi indikator utama masyarakat menilai komitmen negara untuk memberantas korupsi.
Jika Jokowi memilih untuk tidak mengambil sikap terkait polemik TWK ini, masyarakat akan memberi rapor merah padanya karena mengesampingkan isu pemberantasan korupsi.
“jangan lupa indeks Persepsi Korupsi Indonesia sudah anjlok tahun 2020. Ini membuktikan kekeliruan Presiden dalam menentukan arah pemberantasan korupsi,” imbuh Kurnia.
Adapun TWK pegawai KPK dilaksanakan sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai dengan ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2019.
Dalam perjalanannya, TWK menjadi polemik karena dinilai tidak sesuai ketentuan ketika digunakan untuk menentukan seorang pegawai lulus atau tidak lulus.