Jika dampak positif demokrasi dalam menghadirkan perdamaian dan peningkatan ekonomi belum teruji, tidak demikian dengan pemberantasan korupsi.
Menurut, Doorenspleet, demokrasi berkorelasi positif dengan pemberantasan korupsi. Semakin demokratis sebuah negara, semakin berkurang tingkat korupsinya.
Namun demikian, itu tidak terjadi pada negara yang masih dalam transisi dari rezim otoriter ke demokrasi. Di negara seperti ini, korupsi bisa bertambah luas karena desentralisasi.
Pandemi Covid-19 menyadarkan manusia kalau hidup tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh institusi modern mana pun, termasuk negara demokrasi. The big other (meminjam istilah Zizek) atau lembaga negara yang mengatur kehidupan bersama tidak berdaya menghadapi pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 bahkan memperlihatkan rezim yang tidak demokratis seperti Cina lebih efektif menangani pandemi Covid-19 dibandingkan pemerintahan demokratis.
Ketika Cina melakukan lockdown terhadap 50 juta orang di Provinsi Wuhan, penularan Covid-19 berkurang. Pandemi pun bisa teratasi.
Hal tersebut tidak terjadi di Amerika. Sebagian masyarakatnya, atas nama kebebasan, menolak pembatasan yang diterapkan pemerintah.
Pandemi Covid 19 juga menyingkapkan kenyataan bahwa demokratis acapkali menghianati kepercayaan rakyat. Korupsi dana bansos yang dilakukan mantan Menteri Sosial sulit diterima nalar dan nurani.
Peristiwa tersebut menjelaskan mengapa Corrupton Perception Index (CPI) 2020 menempatkan Indonesia di posisi 102 dari 180 negara.
Dalam 10 tahun terakhir, CPI Indonesia hanya naik 5 poin. Jadi, walau pun demokratisasi sudah berlangsung sejak 1998, korupsi belum tereduksi.
Pandemi juga membuka selubung ketidakadilan ekonomi. Salah satu kesulitan pemerintah dalam memutus rantai penularan covid 19 adalah ketidakpatuhan masyarakat terhadap kebijakan PPKM.
Ketidakpatuhan tersebut bisa dipahami karena ada lebih dari 78 juta pekerja di sektor informal yang harus keluar mencari uang. Mereka tidak mungkin tinggal di rumah dalam jangka waktu lama tanpa bantuan dari pemerintah.
Krisis karena pandemi Covid-19 bukan hanya mengoreksi asumsi tentang superioritas demokrasi tetapi juga memperlengkapi demokrasi dengan nilai solidaritas dan empati.
Briggs dkk (2020) meneliti cara pandang masyarakat Inggris di tengah krisis karena Covid-19. Hasil penelitian mereka menjelaskan kalau individualisme, kebebasan dan kapitalisme -yang menjadi prinsip demokrasi- mengalami dekonstruksi dalam diri responden yang diteliti ketika mereka melakukan pembatasan jarak sosial.
Berbarengan dengan itu, mereka menemukan kembali nilai berharga yang kurang diperhatikan mereka: solidaritas, kesederhanaan, empati antar sesama manusia.
Rasanya, solidaritas dan empati kepada yang lain adalah hal yang diabaikan dalam demokrasi Barat yang individualis.
Praktik demokrasi nir-solidaritas dan empati ini yang menyebabkan demokrasi belum berhasil menciptakan perdamaian, keadilan, dan mereduksi korupsi.
Jika kita percaya demokrasi adalah nilai yang layak diperjuangkan dan dihidupi, demokrasi perlu dilengkapi dengan dua nilai ini.
Andaikata keduanya dihidupi, betapa pun demokrasi tidak sempurna, ia dapat menghadirkan kebahagiaan bagi rakyat. Paling sedikit, pejabatnya tidak akan menjadi maling uang rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.