PMI DKI Jakarta membantah menyebarkan flyer itu dan mengancam akan mengajukan tuntutan hukum terhadap oknum pencatut nama PMI DKI Jakarta (Kompas.com, 9 September 2021).
Baca juga: PMI DKI Bantah Sebarkan Unggahan Dukacita untuk Megawati Soekarnoputri
RSPP Jakarta juga membantah kabar Megawati dan pejabat parpol lain dirawat di rumah sakit tersebut. Baca juga: RSPP Bantah Rawat Megawati atau Petinggi Parpol Lain
Demi menghentikan bolar liar isu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto turut mengeluarkan bantahan. Baca juga: Isu Megawati Dirawat, Sekjen PDI-P: Kami Doakan Mereka yang Fitnah Bertobat
Kemunculan Megawati saat membuka kegiatan Sekolah Partai Pendidikan untuk Kader Madya PDI Perjuangan melalui pertemuan daring dari kediamannya di Kawasan Menteng, Jakarta, Jumat kemarin (10 September 2021) menegaskan bahwa kabar dirinya sakit adalah tidak benar.
Megawati mengingatkan kepada penyebar hoaks untuk ingat kekuasaan Sang Pencipta yang tidak ada batasnya. Penyebaran informasi seperti ini dianggapnya berlebihan dan tidak berkontribusi bagi politik dengan energi yang positif.
Baca juga: Diisukan Sakit dan Dirawat, Megawati: Alhamdulillah Saya Sehat Walafiat
Jika dirunut ke belakang, fenomena pemlintiran fakta dan masifnya penyebaran berita hoaks melalui media sosial mulai marak terjadi saat Pilpres 2014. Ada pertarungan antara kutub pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo.
Pelibatan buzzer yang semula dipakai sebagai sarana marketing bisnis, mulai diadopsi untuk kampanye politik di Pilpres 2014.
Buzzer yang semula berfungsi pelengkap atau komplementer, saat itu bermetamorfosa menjadi lini utama kekuatan politik.
Tentu kita masih ingat kasus operasi plastik Ratna Sarumpaet bisa dipermak menjadi kasus pemukulan dan intimidasi yang dikesankan beraroma politik. Demi kepentingan politik, kebohongan bisa dipelintir menjadi seolah-olah kebenaran.
Tekad Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang ingin menjadi jembatan antara pemerintah dan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan pemerintah, sebetulnya menarik untuk dicermati (Kompas.com, 10 September 2021).
Baca: Gabung Pemerintah, PAN Ingin Rangkul Kelompok Beda Pandangan Dampak Pilpres
Zulkifli tentu paham, segregasi bangsa yang terbelah akibat polarisasi antar pendukung capres-cawapres di dua kali pesta demokrasi bernama Pilpres begitu menghabiskan energi bangsa. Kutub cebong dan kutub kampret masih terbawa-bawa hingga sekarang.
Dengan bergabung dalam kabinet Jokowi-Amin, PAN sebagai "penumpang baru" seolah ingin memberikan kontribusi positif.
Publik mafhum, serangan kepada Jokowi banyak berasal dari lawan politik sisa-sisa Pilpres 2014 dan 2019. Kaum gagal move on. Pada dua Pilpres tersebut PAN berada di kubu lawan Jokowi.
Sebelum memerankan diri sebagai jembatan dua kubu, yang harus dilakukan Zulkifli Hasan adalah memastikan anasir-anasir di dalam PAN memulai langkah positif dan terpuji. Sebelum mengajak dan merangkul pihak luar, akan lebih elegan jika PAN melihat ke dalam dulu.
Sebenarnya mudah saja merunut siapa produsen hoaks soal Megawati yang katanya 1000 persen dirawat di ICU RSPP Jakarta.
Di mana posisi penyebar hoaks tersebut saat di Pilpres 2014 dan 2019 lalu? Bagaimana sikap dan pandangan dia soal hasil Pilpres selama ini?