JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sejak Januari 2021 hingga saat ini ada 26 kasus pembungkaman atau pembatasan kebebasan berekspresi yang dilakukan pemerintah.
Menurut peneliti Kontras Rivanlee Anandar, 11 kasus pembungkaman dilakukan dengan cara menghapus mural, delapan kasus penangkapan dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sisanya, lanjut Rivan, terkait dengan perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, hingga penangkapan kritik terhadap kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sampai penangkapan beberapa orang yang membentangkan poster untuk menyampaikan aspirasi di depan presiden.
"Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran atas penyelenggaraan pemerintahan," ujar Rivan dalam keterangan tertulis, Selasa (14/9/2021).
Baca juga: Orang Ditangkap karena Bentangkan Poster ke Jokowi, Polisi Diminta Tidak Represif
Rivan berpandangan hal itu bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi saat ini.
Ia menilai, pemerintah cenderung berupaya membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
"Pembatasan kebebasan berekspresi yang belakangan hadir justru menunjukan bahwa negara tak lagi setia pada demokrasi, melainkan menunjukan gejala otoritarianisme," ucap dia.
Ia menjelaskan bahwa ada sikap berbeda yang ditujukan oleh Presiden Joko Widodo. Pertama, Presiden pernah mengatakan bahwa kritik dipersilahkan.
Baca juga: KSP Sebut Mural-mural Mirip Presiden Ganggu Ketertiban Sosial
"Tapi tidak menjamin ruang dan bentuk ekspresi kritik warga negara," kata dia.
"Penghapusan mural, penangkapan sewenang-wenang, kritik berujung UU ITE, dan lain-lain merupakan salah satu bagian kecil yang sejatinya banyak terjadi di masyarakat terkait pengkerdilan kebebasan bereskpresi dan berpendapat yang memiliki konsekuensi panjang pada kebebasan sipil di Indonesia," ujar Rivanlee.
Rivan berharap Jokowi menjamin tiap bentuk ruang dan ekspresi kritik yang disampaikan oleh masyarakat dengan memberi arahan tegas pada aparat negara.
"Untuk tidak mudah membungkam segala bentuk ekspresi warga negara," ucapnya.
Baca juga: Panggil BEM UI karena Konten Jokowi: The King of Lip Service, Rektorat Dinilai Lakukan Pembungkaman
Terakhir, ia meminta TNI dan Polri tidak melakukan penangkapan sewenang-wenang yang justru akan menciderai penyampaian kritik yang dilakukan masyarakat.
"Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya ketidakdakpercayaan (masyarakat) pada pemerintah,” ujar Rivan.
Pembungkaman atas kritik yang disampaikan masyarakat marak terjadi setelah berbagai mural kritikan pada pemerintah dihapus dan pelakunya dicari oleh aparat penegak hukum.
Baca juga: Istana: Presiden Jokowi Tak Akan Pernah Baper terhadap Kritik Mahasiswa
Terbaru, 10 mahasiswa ditangkap karena menyampaikan aspirasinya pada Jokowi. Sejumlah mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ditangkap pihak kepolisian karena hendak membentangkan poster di depan UNS.
Para mahasiswa mengatakan pembentangan poster itu sebagai upaya menyampaikan aspirasi pada Jokowi yang akan datang untuk mengikuti kegiatan Forum Rektor Perguruan Tinggi se-Indonesia yang diadakan di UNS.
Seorang peternak di Blitar juga diamankan petugas karena membentangkan poster bertuliskan “Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar,”.
Poster itu dibentangkan saat Jokowi melakukan kunjungan kerja di Kota Blitar pada 7 September 2021.
Baca juga: Mahasiswa Ditangkap Saat Bentangkan Poster ke Jokowi, Istana: Aparat Sudah Punya Perhitungan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.