Sang arsitek penyerangan setidaknya pasti sudah berhitung dan memilih waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Bulan September adalah masa ketika cuaca di kawasan Washington dan New York cerah dan terang benderang.
Sekali lagi, sang arsitek pelaku 9/11 agaknya sudah memperhitungkan dengan matang sebuah "operasi udara" yang memerlukan kemampuan terbang rendah dan terbang visual dalam melaksanakan misinya.
Sejatinya, tanpa cuaca yang bagus dengan visibility atau jarak pandang yang cukup akan sulit sekali mengemudikan pesawat terbang untuk membidik sasaran tertentu yang hendak dijadikan target.
Baca juga: Secret Service AS Rilis Foto-foto Kejadian 9/11 yang Belum Pernah Terungkap
Khusus tentang "ketidaksiapan" sistem pertahanan udara AS cukup banyak mengundang pertanyaan pula dari berbagai pihak.
Walaupun, akan sangat dapat dimaklumi surprise attack yang dilakukan beberapa pesawat terbang sipil komersial yang hanya dalam hitungan menit adalah sebuah kesulitan besar untuk meresponsnya.
Sekedar untuk diketahui saja bahwa siaga satu atau tidak siaga satu, maka sistem pertahanan udara sebuah negara besar seperti Amerika pasti tetap akan menyiapkan satu atau dua flight on duty , pesawat terbang tempur yang piket siaga 24 jam.
Washington dan New York adalah kawasan yang berada dalam pengawasan NEADS (North East Air Defence Sector) Sektor pertahanan udara North East yang ketika Perang Dingin merupakan bagian dari NORAD (North American Aerospace Defense Command).
Baca juga: Kisah Barbara Olson, Penumpang Pesawat Tragedi 9/11 yang Laporkan Pembajakan
Pada 11 September 2001, dalam laporan Komisi 9/11 yang diberikan akses luas untuk melakukan investigasi, diungkap bahwa sektor pertahanan udara NEADS sempat merespons penerbangan maut itu.
NEADS bahkan sempat menerbangkan satu flight (terdiri dari 2 pesawat) all-weather tactical fighter F-15 dari Otis Air Force Base yang berjarak 153 mil dari New York City.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.