JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) Amalinda Savirani mengatakan, Indonesia kian mengalami regresi demokrasi.
Ini tampak dari sejumlah survei terkait kebebasan berpendapat dan indeksi demokrasi.
"Ini alarm kondisi demokrasi Indonesia saat ini yang trennya semakin regresi," kata Amalinda di acara webinar bertajuk Mural: Semangat Melawan Regresi Demokrasi yang digelar Public Virtue Institute, Minggu (12/9/2021).
Amalinda mengatakan, secara global saat ini sedang muncul tren anti-demokrasi.
Baca juga: Perludem Prihatin Peringkat Indeks Demokrasi Indonesia Stagnan, dan Skor Turun
Melihat kondisi saat ini, Indonesia berpotensi jadi salah satu negara yang mengarah ke sana.
Namun dibandingkan negara lain seperti Vietnam, Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara lainnya, kata dia, kebebasan berpendapat di Indonesia masih tergolong baik.
Sejumlah survei dalam negeri menunjukkan kecenderungan Indonesia yang tidak mendukung gerakan demokrasi secara penuh, khususnya kebebasan berpendapat.
Hal tersebut tercermin dari survei IPI yang menunjukkan hampir 70 persen responden takut menyampaikan pendapatnya.
Termasuk survei LP3ES yang menunjukkan ada 52,5 persen responden yang takut menyuarakan pendapat.
Kondisi ini diperparah dengan langkah aparat menghapus mural atau gambar seni jalanan (street art) yang mengkritik pemerintah.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, adanya aksi penghapusan mural-mural berisi kritik kepada pemerintah tersebut menunjukkan adanya mentalitas kuno yang tidak mengerti seni.
"Ini mentalitas kuno asal Bapak senang (ABS), ngaco dan tidak paham seni," kata dia.
Padahal, ujar Bonnie, mural atau grafiti merupakan bagian dari sejarah yang ikut mewarnai perlawanan sejarah Indonesia melawan kolonialisme.
Baca juga: AHY Sebut Buzzer Perusak Demokrasi dan Memecah Belah
Bahkan hal tersebut juga terdapat dalam sejarah seni modern.
"Grafiti atau mural pada masa revolusi menjadi propaganda melawan rekolonisasi Belanda dan waspada terhadap musuh," kata dia.