JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Badan Pemilihan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Iwan Ismi mengatakan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengendalikan buzzer terutama saat pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
Pertama, kata dia, dengan memberikan ketegasan pada penyerang akun-akun yang pengeritik pemerintah.
"Di media-media sosial itu banyak sekali orang ketika dia banyak berisik soal kritik-kritik pemerintah itu kemudian banyak akun-akun yang kemudian di hack," kata Iwan dalam diskusi daring, Jumat (10/9/2021).
Iwan mengatakan, kader Partai Demokrat yang vokal di media sosial juga kerap mendapat serangan hack hingga pengambilalihan akun oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, ia menyarankan, ke depannya pemerintah bisa bersikap tegas pada pelaku ataupun buzzer yang menyerang akun pengeritik pemerintah.
Baca juga: AHY Sebut Buzzer Perusak Demokrasi dan Memecah Belah
"Misalnya kepala saya Bang Andi Arief yang akun twitternya juga pernah di-hack gara-gara mungkin termasuk yang sangat cerewet soal kritik-kritik terhadap pemerintah kemudian ada Bang Rachlan Nashidik ya," ujarnya.
"Secara terang-terangan akunya dibajak, di-hack kemudian dikuasai oleh akun-akun anonim. Itu yang pertama harus tegas," lanjut dia.
Selain itu, Iwan juga menyarankan agar ada payung hukum yang mengikat dan diterapkan secara adil pada semua pihak.
Termasuk juga diterapkan pada akun-akun yang selalu memuji pemerintah apabila mereka kedapatan melakukan kesalahan.
"Dan prosesnya pun harus secara serius tidak boleh ketika dia akunnya cenderung kritis kepada pemerintah itu diseriusin, ketika akun itu banyak memuji-muji pemerintah dia tidak ditindak lanjuti," ucap Iwan.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet menjelaskan, kehadiran buzzer dan influencer merupakan fenomena new media atau industri media baru yang mulai muncul dalam konteks politik Indonesia sekitar tahun 2014.
Baca juga: Buzzer Pemerintah Dinilai Muncul karena Media Tak Bisa Dikendalikan...
"Fungsi buzzer itu, semula dia komplemen sifatnya tapi sekarang dia menjadi lini utama, menjadi frontline utama dari suara politik negara,” kata Robert dalam diskusi virtual, Jumat (3/9/2021).
Robert menambahkan, awalnya buzzer merupakan sarana pemasaran bisnis yang kemudian diadopsi untuk kepentingan politik atau pencitraan politik.
Menurut dia, buzzer menjadi diperlukan sejumlah pihak di era sekarang, karena media massa yang mainstream diasumsikan tidak sepenuhnya bisa dikontrol oleh penguasa atau negara.
Hal ini berbeda dengan era Orde Baru, di mana kebebasan pers masih sangat terbatas dan Presiden Soeharto memiliki Menteri Penerangan yang bertugas menyisir dan memberikan materi pemberitaan ke publik.
"Asumsinya ya, media-media mainstream itu enggak sepenuhnya bisa dipakai, seperti enggak bisa dikontrol, enggak bisa dikendalikan oleh kekuasaan, asumsinya seperti itu, berbeda dengan seperti (era) Soeharto," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.