Kebakaran di Lapas Tangerang menyisakan pertanyaan, mengapa ketika ketentuan mengenai standar penanganan bencana kebakaran telah diatur, justru berdampak sangat fatal? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dibedakan ke dalam tiga level.
Pertama, tidak bisa dipungkiri, Lapas dan Rutan di Indonesia masih berhadapan dengan masalah struktural overcrowding.
Mengapa disebut struktural? Hal ini karena penyebab dari overcrowding justru terletak pada cara kerja sistem peradilan pidana umumnya. Lapas tidak bisa menolak terpidana baru. Inflow narapidana sama sekali berada di luar kendali lapas.
Baca juga: ICJR Desak Pemerintah Beri Perhatian Lebih terhadap Persoalan Overcrowding Lapas
Dampak dari overcrowding adalah terseoknya lapas di dalam mencapai standar-standar minimum di dalam pembinaan, pelayanan, pengamanan, hingga keselamatan.
Dalam konteks pencegahan dampak fatal dari kebakaran, kepadatan jumlah penghuni akan menentukan kecepatan evakuasi, kecukupan kapasitas ruang/lokasi tertentu di dalam lapas yang dianggap aman, serta tentunya mengurangi jumlah individu yang berisiko terdampak bencana.
Kedua, masalah kapasitas fasilitatif bagi unit teknis pemasyarakatan. Masalah ini berkaitan dengan sejauh mana kementerian (melalui sekretariat jenderal dan kantor wilayah) mengalokasikan anggaran dan sumber daya secara proporsional untuk lapas dan rutan.
Setiap bangunan lapas tentu memerlukan pemeliharaan dan peremajaan dalam periode tertentu.
Sehingga penting untuk ditanyakan, kapan pemeliharaan terakhir terhadap instalasi listrik di Lapas Tangerang dilakukan?
Baca juga: Ini Kronologi Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang Menurut Menkumham
Soal anggaran dan sumber daya ini sering disebut klasik, namun dalam hal ini justru menentukan aspek keamanan dan keselamatan.