JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengapresiasi langkah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penetapan 7 September sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM di Indonesia.
Penetapan ini merujuk pada peristiwa pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, 7 September 2004, di atas pesawat Garuda Indonesia ketika menuju Belanda.
Namun demikian, Gufron mengingatkan pentingnya penuntasan kasus Munir dan penetapan sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, hingga saat ini belum terungkap auktor intelektualis pembunuhan Munir.
Baca juga: Komnas HAM Tetapkan 7 September Hari Perlindungan Pembela HAM
"Munir menjadi korban pembunuhan politik karena kerja-kerjanya dalam membela HAM, dan dampak dari pembunuhan tersebut secara implisit menjadi teror politik terhadap pembela HAM," ujar Gufron kepada Kompas.com, Rabu (8/9/2021).
Menurut Gufron, teror terhadap aktivis HAM masih terjadi. Hal ini terjadi karena banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak tuntas sehingga menimbulkan impunitas.
Ia mencontohkan kasus pembunuhan aktivis anti-tambang Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur.
Salim Kancil dibunuh pada 26 September 2015 karena menolak penambangan pasir ilegal di Pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, kota Lumajang.
"Impunitas menciptakan keberulangan serangan terhadap pembela HAM," kata Gufron.
Baca juga: Jika Tak Tuntas, Kasus Pembunuhan Munir Akan Jadi Catatan Kelam
Dorongan agar Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat telah disampaikan oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum).
Anggota Kasum sekaligus Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, opini hukum atau legal opinion terkait kasus Munir telah diserahkan kepada Komnas HAM pada September 2020.
Arif menuturkan, merujuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus Munir telah memenuhi unsur untuk dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 9 UU Pengadilan HAM, kasus yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca juga: Menilik Kembali Janji Jokowi Tuntaskan Kasus Munir...
Kemudian, kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan secara meluas dan sistemik. Di sisi lain, Arif menuturkan, pembunuhan Munir disebabkan persekongkolan atau konspirasi yang terorganisasi dan melibatkan institusi negara.
"Yang tentu tidak akan mampu bisa diungkap jika hanya menggunakan mekanisme hukum biasa," kata Arif.
Desakan untuk menyatakan kasus kematian Munir sebagai pelanggaran HAM berat juga terkait dengan mekanisme dan sistem hukum di Indonesia. Salah satunya, batas waktu perkara kedaluwarsa.