SUATU ketika di sebuah sekolah dasar, untuk melatih kebiasaan menulis dan menggunakan jasa pos, seorang guru meminta murid-muridnya di kelas 3 untuk mengerjakan tugas.
Setiap anak diberi tugas menulis surat dan bebas ditujukan kepada siapa saja. Boleh ke ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, kerabat atau teman.
Mereka diajari cara menempel perangko, menulis alamat surat yang dituju, dan alamat pengirim. Semua murid diminta menulis alamat sekolahnya sebagai alamat pengiriman.
Para murid mengerjakan tugas dengan serius. Suasana kelas hening. Surat yang sudah selesai ditulis lengkap dengan perangko dan alamat dikumpulkan di meja guru.
Semua surat yang terkumpul dibawa guru ke kantor pos. Pegawai kantor pos dengan cepat memisahkan dan mengklasifikasikan surat-surat yang masuk.
Ada satu surat yang tidak jelas alamat tujuannya. Pegawai kantor pos melaporkan surat itu kepada kepala kantor pos.
Kepala kantor pos yang hampir menghabiskan sebagian besar umurnya sebagai pegawai pos juga heran dengan surat “aneh” ini. Baru kali ini dia menemui surat yang janggal.
Dalam surat tertera, ”Kepada Yth Tuhan di Tempat” tanpa disertai alamat.
Akhirnya, kepala kantor pos memutuskan untuk menyerahkan surat itu ke kantor polisi terdekat. Harapannya, polisi bisa menyelidiki alamat pengiriman surat itu.
Polisi jaga yang menerima surat tersebut awalnya mengira bisa dengan mudah mencari alamat Tuhan. Ternyata sungguh tidak mudah. Polisi jaga menyerah. Ia pun melaporkan kasus alamat yang pelik ini kepada komandannya.
Menerima surat itu, komandan polisi ikut pusing. Sepanjang kariernya sebagai polisi, baru kali ini ia mendapat kasus yang demikian sulit dipecahkan.
Mencari penjahat kambuhan atau mengungkap kasus pembunuhan ternyata lebih mudah daripada mencari alamat Tuhan.
Pusing karena tak dapat menemukan alamat Tuhan, Sang Komandan memerintahkan salah satu anak buahnya untuk membuka surat itu.
Tulisan tangan surat itu demikian rapi. Isinya,
Tuhan
Dengan surat ini, saya berharap kiranya Tuhan bisa mengirim kepada saya uang Rp 200.000.
Orang tua saya miskin dan kemarin keduanya terkena Corona. Saya belum pernah lihat uang banyak.
Kabulkan doa saya agar orang tua saya mendapat pekerjaan kembali. Ayah bekerja sebagai ojek online dan Ibu saya pencuci baju.
Selamatkan kami semua dari pandemi. Saya tunggu kiriman uangnya.
Terima kasih Tuhan
Narwati
Hening. Semua polisi yang berada di ruangan begitu terharu mendengar isi surat itu. Mata komandan terlihat memerah.
Tergerak oleh surat tersebut, komandan memerintahkan anak buahnya untuk patungan mengumpulkang uang. Karena tanggal tua, ada yang memberi Rp 2 ribu; ada yang Rp 3 ribu; paling tinggi adalah Si Komandan, Rp 50 ribu. Uang yang terkumpul hanya Rp 175 ribu.
Surat balasan dari “Tuhan” bersama uang Rp 175 ribu itu diantarkan polisi ke sekolah.
Guru yang memberi tugas memanggil Narwati, murid yang menuliskan surat kepada Tuhan. Narwati begitu gembira karena mendapat balasan surat dari Tuhan. Ketika membuka sampul surat dan menghitung isi uangnya, dia begitu kecewa.