JAKARTA, KOMPAS.com - Praktisi forensik digital, Ruby Alamsyah, mengatakan, beredarnya nomor induk kependudukan (NIK) dan bocornya sertifikat vaksin Presiden Joko Widodo merupakan kesalahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan penyedia aplikasi PeduliLindungi.
Sebab, NIK Jokowi itu secara terbuka tercantum pada situs KPU dan dapat diakses oleh publik.
"Mengapa NIK Presiden tertulis lengkap di situs KPU dalam informasi publik yang disiarkan untuk warga? Mestinya penulisan NIK itu, apalagi di publik, tidak perlu lengkap," kata Ruby saat dihubungi, Jumat (3/9/2021).
Kemudian, lanjut Ruby, verifikasi untuk mengecek status vaksinasi pada aplikasi PeduliLindungi kurang aman.
Baca juga: Soal NIK Presiden Jokowi, KPU Sebut Selalu Minta Persetujuan Paslon Sebelum Publikasi
Menurutnya, pertanyaan yang diajukan sistem untuk mengecek status vaksinasi terlalu umum. Hal ini menyebabkan publik mudah mengisinya untuk mencari tahu informasi tentang orang lain, khususnya pejabat publik.
Selain itu, PeduliLindungi juga tidak mengecualikan data pejabat tertentu dari sistem pencarian.
"Harusnya dari awal dikecualikan. Lalu, membuat pertanyaan yang lebih pribadi yang hanya orang yang bersangkutan yang tahu. Atau bisa meminta nomor ponsel lalu dikirimkan OTP," ujarnya.
Ruby pun berpendapat, warga yang sempat mengecek status vaksinasi Jokowi dengan menggunakan NIK tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana.
Sebab, sumber NIK itu sendiri terbuka untuk umum di situs KPU. Aplikasi PeduliLindungi pun memungkinkan pencarian itu.
Baca juga: NIK dan Sertifikat Vaksin Jokowi Bocor, Anggota DPR: Sudah Darurat
Kecuali, ditemukan unsur pidana, misalnya jika warga tersebut mendapatkan NIK dengan cara meretas situs Dukcapil.
"Jika memang dapat NIK ini dari situs pemerintah dan mengakses status vaksinasi dari sistem PeduliLindungi, menurut saya salah jika orang tersebut bisa dipidana," kata Ruby.
Bertalian dengan peristiwa ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan NIK Jokowi dan pejabat lain yang tersebar sudah dirapikan dan ditutup.
Budi pun menilai memanfaatkan NIK seseorang merupakan tindakan yang tidak etis karena merupakan hak pribadi. Ia mengatakan, hal ini diatur dalam UU ITE.
"Memang tidak nyaman, itu banyak bukan hanya Bapak Presiden saja, tapi banyak pejabat-pejabat juga yang NIK-nya tuh sudah jadi tersebar itu masih keluar, kita menyadari itu sekarang kita akan tutup data para pejabat," ujar dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.