JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Advokasi mengirim surat permohonan kepada Presiden Joko Widodo agar memberikan amnesti atau pengampunan kepada dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Saiful Mahdi, Kamis (2/9/2021).
Perwakilan koalisi sekaligus Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, permohonan tersebut merupakan upaya supaya Jokowi dapat menggunakan hak pemberian amnesti.
"Amnesti bagian dari penghapusan, upaya, kewenangan, dan hak Presiden memberikan penghapusan penghukuman kepada Pak Saiful Mahdi," ujar Isnur, dalam konferensi pers, Kamis.
Baca juga: Duduk Perkara Dosen Unsyiah Saiful Mahdi Dikriminalisasi Usai Kritik Kampus
Isnur mengatakan, dalam permohonan ini, pihaknya menyodorkan dua surat sekaligus.
Kedua surat tersebut merupakan permohonan pemberian amnesti yang langsung dikirim Saiful, dan satunya berasal dari penasihat hukumnya.
Dengan permohonan ini, ia berharap Presiden dapat mengeluarkan amnesti kepada Saiful atas persetujuan DPR.
Hal itu sebagaimana ketika Jokowi memberikan pengampunan hukuman kepada Baiq Nuril, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang dijerat UU ITE.
Menurut dia, amnesti yang dikeluarkan Jokowi kepada Saiful sangat krusial.
Baca juga: Menakar Arah Revisi UU ITE Setelah Penerbitan Pedoman Kriteria Implementasi
Pemberian tersebut dapat mencegah adanya pembungkaman kebebasan berekspresi di lingkungan kampus.
"Sehingga hal-hal yang berpotensi membungkam kebebasan akademis, membungkam kebebasan berekspresi, melawan potensi korupsi itu tidak terjadi," kata dia.
Selain amnesti, Koalisi Advokasi sendiri sebelumnya juga telah mengajukan surat penangguhan ke Kejaksaan Agung.
Hal ini dilakukan supaya Kejaksaan Agung dapat menangguhkan eksekusi putusan vonis 3 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh kepada Saiful.
Baca juga: Kasus Grup WhatsApp, Dosen Unsyiah Saiful Mahdi Divonis 3 Bulan Penjara
Diketahui, kasus ini berawal dari kritik Saiful terhadap proses penerimaan tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk dosen di Fakultas Teknik Unsyiah pada 25 Februari 2019.
Saiful mengkritik proses rekrutmen lantaran dirinya mengetahui adanya berkas peserta yang diduga tak sesuai persyaratan, namun tetap diloloskan oleh pihak kampus. Kritik itu disampaikan melalui grup WhatsApp.
Adapun kalimat kritik yang dilayangkan Saiful sebagai berikut:
"Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi".
Baca juga: Setuju UU ITE Direvisi, Calon Hakim Agung: Dampaknya Begitu Luas dan Masyarakat Keberatan
Tak terima atas kritik tersebut, Dekan Fakuktas Teknik Unsyiah, Taufiq Mahdi lantas melaporkan Saiful ke Polrestabes Banda Aceh dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Setelah dilaporkan, Saiful kemudian menjalani pemeriksaan. Tepat pada 2 September 2019, pihak penyidik Polrestabes Banda Aceh menetapkan Saiful sebagai tersangka pencemaran nama baik, dengan menggunakan Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang ITE.
Dalam perjalanan kasus ini, Saiful kemudian tetapkan bersalah dengan vonis 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 4 April 2020.
Saiful sendiri tak diam diri atas vonis tersebut. Ia kemudian mengajukan banding, namun ditolak. Begitu juga dengan upaya hukum kasasi yang juga ditolak.
Selanjutnya, tepat pada hari ini, Kamis, pihak Kejaksaan Negeri Banda Aceh dijadwalkan akan melakukan eksekusi putusan sebagai tindak lanjut vonis yang telah dijatuhkan ke Saiful.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.