"Kalau sudah bicara elite partai koalisi yang datang, tentu ini sudah bicara terkait sesuatu yang urgen. Butuh dukungan politik terutama di parlemen. Kan yang bisa mengendalikan suara parlemen dan elite-elite parpol itu ya Ketum dan Sekjen," ujarnya.
Dugaan Adi bukan tanpa sebab. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengungkap salah satu isi pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo dan petinggi partai politik (parpol) koalisi pemerintah pada Rabu (25/8/2021).
Menurut dia, selain membahas mengenai penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi,pertemuan juga menyoroti adanya lembaga-lembaga negara yang merasa paling berkuasa.
Baca juga: Nasdem: Desakan Amendemen UUD 1945 Harus Muncul dari Bawah ke Atas, Bukan Sebaliknya
"Merasa, 'KY lembaga paling tinggi, paling kuat', kamu enggak. Yang paling berkuasa adalah Mahkamah Agung, MK enggak, katanya yang paling berkuasa. Lalu DPR bilang DPR paling berkuasa. Semua merasa paling berkuasa," kata Zulkifli.
Atas hal itu, Zulhas berpendapat bahwa perlu adanya evaluasi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amendemen sebelumnya. Setelah 23 tahun jalannya reformasi, kata dia, demokrasi pun juga perlu dilakukan evaluasi terkait arah dan tujuan.
"Jadi, setelah 23 tahun, hasil amendemen itu menurut saya memang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi kita ini mau ke mana, maka perlu dievaluasi," ucap Zulhas.
Narasi yang muncul dari Ketum PAN di tengah bertambah kuatnya koalisi pemerintah di parlemen membuat publik khawatir agenda amendemen UUD 1945 benar-benar bergulir.
Meski argumen para elit partai menyatakan amendemen bertujuan untuk menghidupkan kembali PPHN, kekhawatiran publik bahwa isu lain seperti perpanjangan masa jabatan presiden turut dibahas tetap tak terbendung.
Baca juga: Amendemen Konstitusi dan Ancaman Menguatnya Oligarki
Belajar dari revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), politisi yang berjanji bahwa revisi bertujuan untuk memperkuat KPK toh tetap memasukkan pasal-pasal yang melemahkan kewenangan lembaga antirasuah tersebut.
Hal serupa dikhawatirkan terulang dalam agenda amendemen UUD 1945. Bisa jadi di awal para politisi menyatakan hanya akan menghidupkan kembali PPHN dalam proses amendemen. Namun dalam perjalanannya tak ada yang bisa menjamin hal lain seperti perpanjangan masa jabatan presiden turut dibahas.
Terlebih saat ini partai koalisi pemerintah menguasai 81 persen lebih kursi parlemen. Hal tersebut tentu memudahkan mereka meloloskan agenda politik apapun termasuk amendemen UUD 1945.
Karena itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir mengingatkan supaya tidak ada kepentingan pragmatis yang bersifat jangka pendek di balik wacana amendemen UUD 1945.
Selain itu, Haedar juga mengingatkan bahwa wacana amendemen tersebut juga sepatutnya tidak menyalahi semangat reformasi 1998.
Yang tak kalah krusial, kata Haedar, juga tidak boleh bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri. Untuk itu, pihaknya mengajak semua pihak yang berkepentingan dalam wacana tersebut supaya dapat mengambil keputusan yang bijak.
"Jangan sampai di balik gagasan amendemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa," ujar Haedar, dalam Pidato Kebangsaan dikutip dari kanal YouTube TV MU Channel, Senin (30/8/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.