SETELAH pandemi Covid-19 melanda dunia sejak akhir tahun 2019, baru saat ini mata dunia terbuka akan sebuah kenyataan pahit.
Terlepas dari debat asal muasalnya, plandemik atau pandemik, pendukung teori konspirasi atau teori sosialis di seluruh belahan dunia, sama-sama terperangah akan dampaknya.
Kedua sisi sepakat bahwa Covid-19 akan mengubah wajah dunia dan menjadi sebuah siklus survival of the fittest kedua setelah pecahnya zaman es.
Jika dilihat dari asal muasalnya, banyak sumber ilmiah merujuk transmisi binatang dan manusia sebagai penyebab utama dari pandemi.
Namun, penelitian WHO pada Februari 2021 gagal menemukan sumber di Wuhan sehingga memunculkan polemik baru antarnegara dan lembaga penelitian.
Karena rasa penasaran yang selalu menghantui selama Indonesia lock down ini, saya mencoba mencari runutan sejarah penelitian tentang pandemi.
Tulisan ini bukan dibuat untuk menorehkan sebuah kesimpulan final, tetapi sebuah kesimpulan sementara yang mungkin bisa mengajak pemikir, penulis, dan peneliti lain merenung dan merefleksikan fenomena yang masih mengguncangkan ini. Berikut penemuan sementaranya.
Covid-19 adalah buah karya pola kehidupan manusia di bumi yang sudah mencapai puncak dan melebihi kapasitas ekologi dunia.
Riset terkini dari institut membuktikan bahwa kita (kaum manusia) tidak bisa saja menyalahkan binatang sebagai asal muasal pandemi.
Riset terbaru dari Christine K Johnson, seorang ahli epidemiologi dan kesehatan ekosistem dari Universitas California, AS, menunjukkan bahwa sumber pandemi lebih ke arah eksploitasi alam (termasuk binatang) massif.
Hal itu berakibat berpindahnya habitat kehidupan liar ke dalam keseharian manusia sehingga kemungkinan transmisi virus tersebut bisa terjadi, singkatnya disebut fenomena zoonosis (zoonotic).
Beberapa runutannya dapat dilacak dari virus Covid-19 yang menggunakan perantara kelelawar dan trenggiling di China, kemudian peternakan musang di Denmark.
Sebelumnya, virus MERS-COV juga ditemukan melalui perantara unta di Arab Saudi dan Ebola melalui perantara tikus di Afrika dan masih banyak contoh lain.
Kontak satwa-manusia ini bisa terjadi dari peternakan, perburuan, dan pembukaan hutan alami serta produksi yang massif sehingga melewati jarak dan intensitas aman yang memungkinkan transmisi tersebut terjadi.
Mungkin istilah environmental and social governance (ESG) sudah sangat dikenal di kalangan pemerhati lingkungan dan bahkan perusahaan yang bergerak atau terpapar dengan sumber daya alam.