Rasanya benar, tanpa sadar, korupsi itu ibarat iblis di dalam diri kita. Ia adalah budaya yang buruk: tidak kita sukai tapi dihidupi.
Baca juga: Survei BPS: Masyarakat Pedesaan Lebih Memaklumi Budaya Korupsi
Para pencuri uang rakyat itu merasa dirinya elite yang punya privilege untuk mendapatkan uang lebih di luar gaji yang diterima.
Jadi tidak malu walau sudah OTT korupsi. Elite predator uang rakyat itu bahkan ada yang tersenyum sambil melambaikan tangan ke kamera yang meliput mereka.
Mungkin saja, budaya itu juga yang mempengaruhi putusan hukum atau tuntutan hukuman yang rendah untuk para koruptor. Hukuman mereka didiskon, karena pencurian uang rakyat dianggap budaya atau hal yang biasa.
Diagnosa bahwa korupsi menjadi budaya semakin tegak dengan memperhatikan pledoi Mensos, Juliari Batubara. Alih-alih meminta maaf kepada rakyat, ia hanya meminta maaf kepada Jokowi dan Megawati.
Dengan itu Juliari hendak menyampaikan pesan: hanya penguasa yang perlu dihormati. Rakyat bagaimana? Tidak perlu. Sebab status mereka di bawah. Uang yang menjadi hak rakyat wajar dikorupsi sebab itu semacam upeti untuk penguasa.
Jika korupsi adalah budaya dan itu ibarat setan yang ada di dalam diri kita, maka upaya mengatasi korupsi adalah dengan mengusir setan tersebut.
Rakyat harus bersatu melawan elite predator yang merasa berhak dan menganggap wajar korupsi. Rakyat perlu mengoordinasi diri bersama civil society dan lembaga agama untuk melawan kuasa demonis yang bekerja di dalam dan melalui para koruptor.
Sasaran perlawanannya jelas: setan yang suka bergentayangan dekat dengan kekuasaan. Kelompok agama perlu menjadi motor perlawanan tersebut sebab itu adalah salah satu core bussiness-nya.
Perlawanan juga perlu dilakukan melalui pendekatan budaya sebab korupsi menjadi bagian dari budaya.
Baca juga: Bengbeng, Tukang Cukur yang Menolak Budaya Korupsi
Kedua, menginstitusionalisasi perlawanan anti korupsi. KPK sebetulnya sejalan dengan strategi ini. Sayangnya, ketika ada intervensi kekuasan terhadap kemandirian KPK melalui UU revisi KPK (besarnya kekuasaan dewan pengawas atau pegawai KPK yang menjadi ASN), maka KPK sudah tidak lagi netral dan sulit diharapkan dapat memberantas korupsi.
Mengapa? Sebab dalam banyak kasus, korupsi itu bersifat politik. Ketika kekuasaan politik yang biasa menjadi pelaku korupsi bisa mengintervensi KPK, sulit berharap KPK bisa bisa menjalankan fungsinya.
Terakhir, mendorong terwujudnya kehidupan beragama yang kaya etika. Agama dalam perbuatan, bukan sekadar agama yang berfokus pada ritual atau ajaran.
Akan baik jika ada apresiasi untuk pemeluk agama yang mampu hidup jujur dan tidak korupsi. Termasuk mengapresiasi pemeluk agama yang mampu memberantas korupsi.
Jika itu terjadi, kompetisi antar pemeluk agama yang kadang terjadi di negeri ini akan berdampak positif.
Agama-agama dipersilakan untuk berkompetisi dalam berbuat baik. Jadi tidak sekadar ribut mengeklaim diri sebagai pemeluk agama terbaik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.