TEKNOLOGI komunikasi digital harus kita gunakan sebaik mungkin. Hal ini disebabkan rekam jejak digital yang kita tinggalkan akan abadi.
Selain itu, rekam jejak digital juga tidak mudah dihilangkan dan dapat dibaca, bahkan oleh orang-orang sesudah kita nanti.
Adaptasi digital menjadi prasyarat sekaligus kebutuhan untuk terhindar dari sisi buruk komunikasi di dunia maya.
Adalah Sandra Petronio yang menulis tentang Boundaries of Privacy: Dialetics of Disclosure (2002), menjelaskan bahwa teori communication privacy management dapat kita aplikasikan dalam penggunaan media yang berbasis digital.
Ada tiga kata kunci dalam teori ini. Pertama, ownership atau kepemilikan.
Data-data pribadi yang kita miliki adalah hak kita yang harus kita jaga dan kita pilah dan pilih sebelum kita mengunggahnya ke laman digital. Di sini pentingnya memahami mana yang privasi dan mana yang domain publik.
Kedua, kontrol terhadap apa yang akan kita lakukan di dunia digital. Kita kontrol apa yang akan kita unggah atau pun apa yang akan kita "konsumsi" di dunia digital.
Sebagai manusia, seseorang memiliki hak untuk memilih atau melakukan sesuatu di satu sisi. Namun, di sisi lain ia juga harus bertanggung jawab atas apa yang dia pilih dan lakukan.
Kontrol terhadap hal-hal privasi ini penting sehingga kita selalu sehat dalam berselancar di dunia digital.
Ketiga, turbulensi. Saat informasi pribadi tidak dikelola dengan baik maka yang terjadi kemudian adalah turbulensi. Seperti, bocornya informasi privasi di ruang publik digital.
Ini akan menjadi sebuah kekacauan yang tidak bisa dihindari ketika turbulensi muncul. Maka, sesesorang seharusnya lebih waspada dan hati-hati terhadap hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Tidak semua orang dapat beradaptasi dengan dunia digital.
Semua orang yang memiliki uang mungkin dapat membeli gawai yang canggih untuk berselancar di dunia digital. Namun, hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuanlah yang dapat beradaptasi dengan baik di tengah pesatnya kemajuan teknologi digital.
Idealnya, memang sebelum memasuki ruang digital yang tanpa batas itu kita harus menguatkan diri kita dengan budaya membaca terlebih dahulu.
Kita membutuhkan kesadaran yang baik saat memasuki ruang digital. Kita harus dapat membedakan dunia mana yang sedang kita pijak, dunia nyata atau dunia digital.
Baca juga: Kecanduan Gadget dan Game Online Itu Nyata
Di dunia nyata, yang kita ajak untuk berkomunikasi mungkin hanya beberapa orang. Ini bisa jauh berbeda dengan dunia digital.
Kita mengunggah sebuah status di akun media sosial kita yang meresponsnya bisa puluhan dan bahkan ratusan orang atau lebih. Respons terhadap status kita juga beragam, ada yang biasa saja, ada yang positif, ada juga yang negatif.
Dalam sebuah webinar yang saya diminta menjadi pembicara, ada seorang mahasiswi yang bertanya tentang respons negatif di akun media sosial, yang kemudian menyebabkan seseorang depresi.
Saya merenung sebentar lalu saya pun membahasnya. Media sosial yang berbasis digital tidak jauh berbeda dengan dunia nyata, dalam hal ada juga perundungan atau bullying, ada penghinaan, dan hal-hal sejenisnya.
Yang dapat kita lakukan, menurut saya, pertama adalah berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia digital. Jika sudah tenang maka kita masuk lagi ke dunia digital.
Yang kedua, kita harus memilah dan memilih siapa yang dapat kita jadikan teman dan siapa yang tidak bisa dijadikan teman.
Prinsip di platform dunia digital, jika kita suka maka kita ikuti dan sebaliknya jika kita tidak suka maka kita berhenti mengikuti. Jika dirasa menjadi racun yang menyakiti maka kita block saja.
Baca juga: Ada “Peran” Kita di Balik Alasan Seseorang Bunuh Diri?
Ketiga, untuk menyembuhkan mental, bisa juga kita melakukan hal-hal yang menyenangkan di dunia nyata, seperti berkebun dan memelihara hewan.
Dengan berkebun dan menikmati pemandangan yang hijau maka hati akan senang. Pun demikian jika kita merawat dan memberi makan hewan peliharaan, hati pun akan tenang dan senang.
Ketika berada di dunia digital, kita harus memahami beberapa hal, sedikitnya empat hal.
Pertama jejak digital itu permanen. Apa pun yang kita unggah di dunia digital tidak dapat dihapus. Meski kemudian itu dihapus dari status, karena sudah telanjur tersiar maka rekam jejak itu akan tetap ada.
Kedua, jangan mudah mengumbar data pribadi di ruang digital. Sebab, tidak semua orang yang bergabung di dunia digital memiliki niat dan perilaku yang baik.
Tidak sedikit kasus kriminalitas di dunia digital berawal dari bocornya data pribadi di ranah digital. Data pribadi itu kemudian digunakan untuk penipuan.
Misalnya, seorang penipu menelepon seseorang yang sudah lanjut usia bahwa anaknya sedang sakit lalu si penipu meminta pulsa. Karena sudah lanjut usia dan tidak paham tentang penipuan ini, orangtua tadi mengirim pulsa untuk si penipu.
Ketiga, memahami lingkungan digital. Sebelum beranjak lebih jauh, kita harus memahami lingkungan digital kita belakangan ini.
Seperti halnya lingkungan hidup, ada udara, ada juga polusi. Ada hal-hal yang bermanfaat, ada juga sampah, dan seterusrnya. Pun demikian di lingkungan digital.
Pemilahan tentang hal-hal yang positif dan negatif harus selalu kita lakukan setiap hari. Pemahaman akan lingkungan ini penting untuk menjaga agar lingkungan digital kita ini sehat dan menyehatkan.
Yang terakhir, yang keempat, adalah memperbanyak unggahan yang positif. Jika ada hal negatif di ruang digital kita maka kita harus menghapus dan melawannya dengan yang positif.
Baca juga: Media Sosial Jadi Tempat Masyarakat China Saling Bantu Korban Banjir dengan Cepat
Jangan pernah lelah dan bosan untuk menyebarkan postingan yang positif dan bermanfaat di ruang digital kita.
Postingan-postingan positif ini menjadi legacy dan menjadi bagian dari kebaikan yang kita tebar di dunia digital. Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan kebaikan dan kebermanfaatan untuk orang lain. Tabik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.