Di dunia nyata, yang kita ajak untuk berkomunikasi mungkin hanya beberapa orang. Ini bisa jauh berbeda dengan dunia digital.
Kita mengunggah sebuah status di akun media sosial kita yang meresponsnya bisa puluhan dan bahkan ratusan orang atau lebih. Respons terhadap status kita juga beragam, ada yang biasa saja, ada yang positif, ada juga yang negatif.
Dalam sebuah webinar yang saya diminta menjadi pembicara, ada seorang mahasiswi yang bertanya tentang respons negatif di akun media sosial, yang kemudian menyebabkan seseorang depresi.
Saya merenung sebentar lalu saya pun membahasnya. Media sosial yang berbasis digital tidak jauh berbeda dengan dunia nyata, dalam hal ada juga perundungan atau bullying, ada penghinaan, dan hal-hal sejenisnya.
Yang dapat kita lakukan, menurut saya, pertama adalah berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia digital. Jika sudah tenang maka kita masuk lagi ke dunia digital.
Yang kedua, kita harus memilah dan memilih siapa yang dapat kita jadikan teman dan siapa yang tidak bisa dijadikan teman.
Prinsip di platform dunia digital, jika kita suka maka kita ikuti dan sebaliknya jika kita tidak suka maka kita berhenti mengikuti. Jika dirasa menjadi racun yang menyakiti maka kita block saja.
Baca juga: Ada “Peran” Kita di Balik Alasan Seseorang Bunuh Diri?
Ketiga, untuk menyembuhkan mental, bisa juga kita melakukan hal-hal yang menyenangkan di dunia nyata, seperti berkebun dan memelihara hewan.
Dengan berkebun dan menikmati pemandangan yang hijau maka hati akan senang. Pun demikian jika kita merawat dan memberi makan hewan peliharaan, hati pun akan tenang dan senang.
Ketika berada di dunia digital, kita harus memahami beberapa hal, sedikitnya empat hal.
Pertama jejak digital itu permanen. Apa pun yang kita unggah di dunia digital tidak dapat dihapus. Meski kemudian itu dihapus dari status, karena sudah telanjur tersiar maka rekam jejak itu akan tetap ada.
Kedua, jangan mudah mengumbar data pribadi di ruang digital. Sebab, tidak semua orang yang bergabung di dunia digital memiliki niat dan perilaku yang baik.
Tidak sedikit kasus kriminalitas di dunia digital berawal dari bocornya data pribadi di ranah digital. Data pribadi itu kemudian digunakan untuk penipuan.
Misalnya, seorang penipu menelepon seseorang yang sudah lanjut usia bahwa anaknya sedang sakit lalu si penipu meminta pulsa. Karena sudah lanjut usia dan tidak paham tentang penipuan ini, orangtua tadi mengirim pulsa untuk si penipu.
Ketiga, memahami lingkungan digital. Sebelum beranjak lebih jauh, kita harus memahami lingkungan digital kita belakangan ini.