Setiap masa kepemimpinan nasional selalu menghadapi tantangan dan kendala yang berbeda-beda. Dari Bung Karno, kita belajar dan memaknai perjuangan dan persaudaran untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dari Soeharto, kita memaknai kecukupan sandang pangan menjadi stabilitas kehidupan.
Dari BJ Habibie, kita belajar singkat mengenai kemajuan peradaban.
Dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kita semakin memaknai pluralitas sebagai perekat kebangsaan.
Begitu juga dari Megawati, kita meneguhkan kembali kebangsaan yang sempat hilang, dan dari Susilo Bambang Yudhoyono, kita mengisi pembangunan yang tertinggal.
Justru di penggal pertama kepemimpinan Jokowi, kita telah menikmati kemajuan pembangunan infrastruktur yang terus diuber.
Kita bangga menjadi orang Indonesia karena semua kalangan dirangkul untuk membangun negeri. Rasa ke-Indonesia-an kita semakin tebal.
Hanya saja, di penggal kedua periode kepemimpinan Jokowi, kita tengah diuji ketika wabah corona tiba.
Seperti pernyataan Megawati, tidak ada satu negara pun di dunia yang kebal dengan pandemi sekalipun itu negara adidaya Amerika Serikat.
Justru pernyataan ini menjadi pengingat, sudahkah kita menebalkan diri sebagai “saudara” dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Indonesia?
Ketika negara kita tengah tertimpa pandemi, bukan saat yang tepat untuk saling mengumbar kebencian atau permusuhan.
Musuh kita walau tidak terlihat tetapi jelas adanya: virus corona. Musuh itu harus kita hadapi, lawan, dan taklukkan. Kita tiba pada titik yang tidak bisa mundur lagi ke belakang. Point of no return.
Sejak Maret 2020 hingga sekarang, kita tengah bersedih karena wabah Covid begitu meruyak. Kita sempat mengalami semua rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien, para tenaga kesehatan kewalahan dan banyak yang wafat karena malah terpapar.
Penggali kubur terkulai lemas karena terlalu payah menggali lahat. Persediaan oksigen menjadi langka. Belasan ribu anak menjadi yatim piatu. Angka kematian sudah di atas 123 ribu jiwa.
Pemerintah kita begitu sibuk mencari vaksin, ditengah keterbatasan vaksin karena semua negara membutuhkannya.
Dengan jumlah penduduk yang begitu besar, wilayah yang sangat luas dan kompleksitas perbedaan pandangan dan budaya menjadikan upaya penanganan pandemi tidak semudah membalikkan tangan.
Dengan target 208,26 juta orang yang harus divaksin untuk mencapai kekebalan kelompok bukanlah perkara gampang.
Belum lagi kelambatan laju perekonomian dan besarnya warga yang membutuhkan bantuan sosial juga butuh atensi penuh di tengah keterbatasan anggaran negara yang tersedia.
Jokowi memang harus dikasihani. Saya yakin di balik dukungan bahkan siap pasang badang untuk pihak-pihak yang melecehkan presiden, Megawati sebenarnya menitip pesan untuk Jokowi: sura sira jayaningrat, lebur dening pangastuti.
Segala sifat keras hati, picik, dan angkara akan kalah dengan keluhuran budi pekerti yang bijaksana, lembut hati, sabar, dan mulia.
Tetaplah Jokowi menjadi presiden kami hingga tuntas pengabdiannya pada 2024 nanti. Mohon maaf jika kami kerap mengkritikmu. Ini adalah bukti kami semua ingin menjadikan Indonesia tangguh dan tetap tumbuh.
Tetaplah menjadi presiden kami yang ambeg utomo, andhap asor. Selalu mengutamakan kerendahan hati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.