Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Presiden Soekarno Tanggapi Kritik di Coretan Tembok...

Kompas.com - 20/08/2021, 16:01 WIB
Wahyuni Sahara

Penulis

Sumber Kompas.id

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden pertama RI Soekarno mengaku pernah dikiritik lewat sebuah coretan tembok. Isi kritik itu berupa sindiran terhadap kebijakan politik yang diambilnya.

Hal itu diceritakan Soekarno dalam pidato Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1966 di Jakarta.

"Saudara-saudara, saya pernah dihadiahi dengan coretan tembok yang berbunyi: ‘Mercusuar politik no, mercusuar ekonomi yes," kata Soekarno dalam pidatonya yang bertajuk "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" seperti yang dikutip dari Litbang Kompas.

Selain menceritakan, Soekarno juga sekaligus menanggapi coretan tembok tersebut.

Baca juga: Bung Karno dan Kisah di Balik Wajah Ramah Pemuda pada Monumen Selamat Datang

Ia memanfaatkan momen HUT RI untuk menanggapi kritik agar pesan yang disampaikannya tersebar luas, mengingat pidato presiden saat itu adalah hal yang dinantikan oleh masyarakat.

Ketika itu, Soekarno menjawab kritik tersebut dengan mengatakan bahwa mercusuar politik dan ekonomi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan baik secara nasional maupun internasional.

Keduanya harus diterapkan secara bersamaan. Itulah yang disebut oleh Soekarno sebagai  Dwi Tunggal! Dwi Eka! Dwi Simultanisme!

Karena itulah, kata Soekarno, maka Ampera bukan hanya urusan isi perut. Ampera adalah urusan isi perut dan negara merdeka bebas dari imperialisme plus dunia baru.

Ampera adalah dwi tunggal politik dan ekonomi, dwi tunggal ekonomi dan politik.
Tidak bisa dipisah satu sama lain. Dan tidak ada ke-amberg-parama-arta-an dari yang satu
di atas yang lain.

Baca juga: Asal-usul Marhaenisme, Ideologi yang Tercetus Kala Bung Karno Bersepeda

Malahan, menurut Soekarno ampera adalah Tri Tunggal, yaitu: Negara merdeka–politik! Masyarakat adil dan makmur–ekonomi! Dunia Baru–politik! Pun di dalam Tri Tunggal Ampera ini tidak ada ke-ambeg-parama-arta-an.

"Dalam abad XX, dua hal ini, ekonomi dan politik, adalah kait-mengait, kait-mengait satu sama lain, rante-rinante satu sama lain, interwoven satu sama lain. Apalagi buat kita, ekonomi kita! Sebab, ekonomi yang kita kejar ialah ekonomi atas dasar orde baru, ekonomi atas dasar orde sosialis, bukan ekonomi seperti di Amerika atau ekonomi seperti di Jepang, satu ekonomi sosialis tanpa exploitation de l’homme par l’homme," kata Bung Karno.

Soekarno dalam pidatonya juga mencoba mengingatkan pentingnya menciptakan stabilitas ekonomi dan politik secara bersamaan.

Upaya ini disesuaikan dengan kondisi bangsa sehingga terwujud stabilitas yang revolusioner dan tidak tergantung pada imperialis.

Mulanya coretan tembok itu disinggung oleh Soekarno saat ia menyampaikan gagasan mercusuar agar Indonesia didengar, dilihat, dan diperhatikan oleh seluruh dunia. Tapi, gagasan itu justru menuai kritik dari masyarakat.

Selama masa pemerintahannya, Soekarno memang pernah menjalankan konsep politik mercusuar agar Indonesia dikenal oleh dunia internasional.

Salah satu politik mercusuar yang berhasil menyita perhatian dunia adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah dalam Asian Games 1962.

Baca juga: INFOGRAFIK Serial Presiden: Soekarno

Beragam pembangunan skala besar seperti Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Hotel Indonesia dilakukan.

Pada masa itulah Soekarno menuai kritikan. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1960, Indonesia sedang mengalami kesulitan ekonomi dengan inflasi yang begitu tinggi.

Jadi, wajar saja di tengah situasi saat itu, proyek skala besar mendapat kritikan dari masyarakat. Kritik tersebut sebagai bentuk kepedulian sekaligus kegelisahan masyarakat.

Kritik itu juga menggambarkan sikap sebagian masyarakat yang suaranya mungkin belum didengar oleh pemerintah, namun akhirnya berhasil ditanggapi oleh Soekarno.

 

Presiden SoekarnoArsip KOMPAS Presiden Soekarno

Pesan politik dari Soekarno

Dalam Kompas.id disebut bahwa coretan tembok yang disinggung oleh Soekarno itu merupkan grafiti pada masanya. Sebagai kritik estetis, cara yang digunakan berhasil menarik perhatian pemimpin.

Melihat momen yang digunakan, terlihat jelas bahwa coretan tembok yang entah ditulis oleh siapa itu memberikan kesan yang sangat berarti bagi Presiden Soekarno, sehingga perlu dibahas dalam pidato tahunan presiden.

Soekarno seakan ingin memberikan pesan politik bahwa kritik terhadap kebijakan kepala negara, perlu dijawab dengan penjelasan-penjelasan yang demokratis.

Baca juga: Di Museum Kepresidenan, Presiden Soekarno Tercatat Lahir di Surabaya

Secara komprehensif, coretann tembok itu dijawab oleh Soekarno dengan ragam penjelasan tentang konsep pembangunan ekonomi dan politik secara paralel.

Itulah mengapa Soekarno mengambil momen besar untuk menanggapi kritikan sehingga masyarakat dapat memahami secara menyeluruh.

Di balik pro dan kontra kebijakan, Soekarno telah menanggapi kritikan atas kebijakan negara secara demokratis.

Kritik atas kebijakan dijawab dengan memberi penjelasan secara lugas untuk mudah dipahami masyarakat umum.

Presiden Soekarno memberikan contoh cara demokratis dalam menanggapi kritikan. Ia memberikan sudut pandang lain agar dipahami masyarakat umum sebagai jawaban atas kritik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Kompas.id
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com