DELEGASI adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
Pasal 41 Ayat (5) PP 75/2021 tentang Statuta UI adalah contoh bentuk delegasi kewenangan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Delegasi kewenangan dalam Pasal 41 Ayat (5) Statuta UI berbunyi:
"Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki."
Baca juga: Desak Statuta UI Hasil Revisi Dicabut, Ratusan Mahasiswa hingga Guru Besar Surati 5 Kementerian
Idealnya, delegasi kewenangan itu dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Akan tetapi, mencermati delegasi kewenangan dalam Statuta UI itu justru terdapat sejumlah masalah.
Masalah 1: Fenomena Penumpukan Kekuasaan
Membaca pengaturan delegasi kewenangan dalam Statuta UI itu, tidak dapat dihindari adanya kesan fenomena penumpukan kekuasaan (the concentration of power upon the Rector).
Apalagi, bila dicermati munculnya pengaturan baru dalam PP 75/2021, yaitu Pasal 34 ayat (2): "Rektor menjalankan otonomi UI dalam bidang akademik, tata kelola, keuangan, dan sumber daya", yang dibarengi dengan penghapusan pengaturan basis check and balances yang sudah ada sebelumnya.
Baca juga: Guru Besar UI Temukan Ketidaktelitian dalam Penyusunan Statuta UI, Ini Penjelasannya
Contoh pengaturan check and balances yang sudah ada, tetapi ditiadakan, adalah Pasal 41 ayat (1) huruf j Statuta UI berdasarkan PP 68/2013.
Belum diketahui apakah delegasi kewenangan ini merupakan buah permintaan UI, atau perintah dari Kemendikbud Ristek.
Bila hal ini merupakan direktif dari Kementerian, maka kecenderungan seperti ini tentu akan menjadi pola sejumlah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) yang lain.