JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah merupakan kitab suci yang tidak boleh diutak-atik.
Namun, wacana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) juga perlu dipikirkan matang-matang.
Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, dinilai bukanlah momentum yang tepat untuk mengubah konstitusi negara.
Hal itu disampaikan sejumlah partai politik merespons wacana amendemen UUD 1945 untuk memberi kewenangan bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, amendemen konstitusi mesti melalui proses sosialisasi dan konsultasi publik yang tidak bisa dilaksanakan dengan tergesa-gesa.
"PPP menginginkan agar proses sosialisasi dan konsultasi publik dalam proses amendemen konstitusi ini harus benar-benar dibuka terlebih dahulu dan proses dijalankan dengan tidak tergesa-gesa," kata Arsul saat dihubungi, Rabu (18/8/2021).
Baca juga: Jokowi dan Bamsoet Bertemu Bahas Amendemen UUD, Moeldoko: Jangan Berspekulasi Berlebihan
Arsul menekankan, amendemen konstitusi tidak sekadar mengubah undang-undang. Oleh sebab itu, konsep dan isi amendemen harus diperjelas dan dipastikan tidak melebar ke mana-mana.
Ketua Fraksi PAN di DPR, Saleh Daulay mengatakan, amendemen konstitusi harus didasarkan pada kajian yang komprehensif.
Ia menegaskan, amendemen UUD 1945 bukan pekerjaan mudah. Perubahan pasal dalam konstitusi akan berpengaruh besar pada sistem ketatanegaraan.
Oleh karena itu, seluruh kekuatan politik, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai elemen lainnya terlebih dahulu merumuskan agenda dan batasan amendemen.
"Konstitusi adalah milik seluruh rakyat. Perubahan terhadap konstitusi sebaiknya didasarkan atas aspirasi dan keinginan rakyat. Perubahan itu pun tidak boleh hanya demi tujuan politik sesaat," kata dia.
Fokus tangani pandemi
Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsy berpandangan, rencana amendemen UUD 1945 terkesan tidak peka pada situasi pandemi Covid-19.
Ia mengingatkan, saat ini banyak masyarakat yang sedang berduka dan kesusahan akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: Ketua MPR: Keputusan Amendemen UUD 1945 Bergantung pada Dinamika Politik
Menuru Aboe, seluruh elemen bangsa semestinya fokus pada upaya menangani pandemi, baik untuk mengurangi risiko kematian akibat Covid-19 maupun upaya memulihkan ekonomi.
"Daripada membahas amendemen UUD 1945, lebih urgen jika saat ini kita menyiapkan roadmap jangka panjang penanganan Covid-19. Karena kita pahami salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi," kata Aboe.
Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra menyebut, mengubah UUD 1945 di tengah pandemi merupakan sikap yang tidak bijaksana.
"Mengubah UUD juga menyita banyak sumber daya dan memerlukan partisipasi publik secara luas, sedangkan pandemi membatasi itu semua," kata dia.
Senada, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily berpandangan, belum ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan amendemen UUD 1945 di tengah situasi pandemi.
"Lebih baik kita bekerja dengan sungguh-sungguh menuntaskan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat ini," ujar Ace, dikutip dari Kompas.tv.
Bukan hal tabu
Bambang Soesatyo menyatakan bahwa konstitusi secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat.
"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan," kata Bambang dalam acara peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-76 MPR, Rabu.
Baca juga: PPP Ingin Proses Amendemen UUD 1945 Tidak Tergesa-gesa
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu melanjutkan, kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN dibutuhkan sebagai pedoman atau arah penyelenggaraan negara.
"Sehingga Indonesia tidak seperti orang menari poco-poco. Maju dua langkah, mundur tiga langkah," kata Bamsoet.
"Ada arah yang jelas ke mana bangsa ini akan dibawa oleh para pemimpin kita dalam 20, 30, 50, hingga 100 tahun yang akan datang," tutur dia.
Sebelumnya, dalam Sidang Tahunan MPR pada Senin (16/8/2021), Bamsoet menyebut amendemen UUD 1945 diperlukan untuk memberi kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN.
Ia mengeklaim, amendemen UUD 1945 tidak akan melebar ke pasal-pasal lainnya, termasuk soal perubahan masa jabatan presiden menjadi maksimal 3 periode.
"Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," kata Bamsoet, Senin.
"Apalagi semangat untuk melakukan perubahan adalah landasan filosofis politik kebangsaan dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan yang lebih baik," ujar Bamsoet melanjutkan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.