MURAL bergambar wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) disertai tulisan "404: Not Found" ramai di media sosial. Polisi langsung memburu pembuatnya karena dianggap menghina dan melecehkan lambang negara.
Mural yang menempel di terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta, Batuceper, Tangerang, Banten ini menulai polemik.
Aparat tak hanya menghapus dan menutupnya dengan cat hitam namun juga mencari dan memburu seniman yang membuatnya.
Polisi berdalih, mural itu telah melecehkan dan menghina presiden yang menurut mereka adalah lambang negara.
Langkah polisi ini menuai kritik. Mereka dinilai berlebihan dengan mengejar dan memburu pembuat mural tersebut. Ini juga menunjukkan kesan bahwa pemerintah atau Presiden Jokowi antikritik.
Mural adalah salah satu media atau sarana masyarakat untuk berekspresi, menyampaikan pendapat atau mengkritik penguasa. Ini lazim di negara yang menganut demokrasi.
Ini bukan yang pertama. Sebelumnya publik juga dihebohkan dengan mural “Tuhan Aku Lapar”. Mural yang terletak di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten ini pun langsung dihapus usai viral di media sosial.
Tak hanya itu, di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, mural "Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit" yang ada pada salah satu sudut jalan juga dihapus.
Mural selama ini dianggap sebagai street art. Karya seni ini merupakan bentuk ekspresi. Aparat dan pemerintah seharusnya tak perlu bersikap agresif dan represif.
Pemerintah harus memaknai mural sebagai karya seni dan media atau cara masyarakat menyampaikan pendapat.
Ini dijamin dan dilindungi konstitusi, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pemerintah dan aparat hukum dianggap tak memliki dasar hukum dan argumentasi untuk menghapus mural dan mengkriminalkan pembuatnya.
Pembatasan kebebasan berekspresi harus didasarkan pada ketentuan undang-undang, yakni untuk melindungi kepentingan publik, keamanan nasional, melindungi hak orang lain serta untuk tujuan yang sah.
Kepolisian juga tidak dapat memproses hukum pembuat mural tersebut dengan alasan Presiden Jokowi adalah pemimpin dan lambang negara.
Presiden bukan merupakan lambang negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 36 (A) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.
Namun, pendapat berbeda disampaikan Faldo Maldini. Staf khusus Menteri Sekretaris Negara ini menilai, pembuatan mural tersebut sewenang-wenang, terlebih dibuat di fasilitas publik.
Selain itu, pembuatan mural harus mendapat izin terlebih dahulu. Sebab jika tidak, bisa berujung pada tindakan melawan hukum.
Langkah pemerintah menghapus mural Jokowi dan mengkriminalisasi pembuatnya adalah bentuk pembungkaman berekspresi dan berpendapat. Ini bukti semakin menyempitnya ruang kebebasan berekspresi dan mundurnya demokrasi di negeri ini.
Mengutip pakar tata negara Refly Harun di akun Youtubenya kritik terhadap pemerintah, khususnya Presiden Indonesia dengan metode mural, status di media sosial, hingga Youtube bukanlah tindakan kriminal.
Sehingga, pelukis atau pembuat status di media sosial yang mengkritik pemerintah tidak bisa dihukum karena itu merupakan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Salah satu tugas seniman jalanan adalah mewakili suara rakyat. Hal itu sudah dilakukan sejak lama, bahkan sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Belanda. Mural merupakan media dan sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan karena dilihat banyak orang.
Pada zaman Presiden Soeharto banyak mural yang dihapus karena berisi kritik dan menyindir penguasa. Pembuatnya dikejar-kejar tentara.
Yayak Yatmaka salah satunya. Seniman asal Yogyakarta ini diburu pemerintah Orde Baru gara-gara membuat gambar yang membuat marah penguasa.
Mengapa pemerintah gerah dengan mural yang berisi kritik sosial? Mengapa masyarakat memilih mural untuk menyampaikan pendapat dan kritik? Benarkah mural lebih efektif?
Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (18/8/2021), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.