Namun, pendapat berbeda disampaikan Faldo Maldini. Staf khusus Menteri Sekretaris Negara ini menilai, pembuatan mural tersebut sewenang-wenang, terlebih dibuat di fasilitas publik.
Selain itu, pembuatan mural harus mendapat izin terlebih dahulu. Sebab jika tidak, bisa berujung pada tindakan melawan hukum.
Langkah pemerintah menghapus mural Jokowi dan mengkriminalisasi pembuatnya adalah bentuk pembungkaman berekspresi dan berpendapat. Ini bukti semakin menyempitnya ruang kebebasan berekspresi dan mundurnya demokrasi di negeri ini.
Mengutip pakar tata negara Refly Harun di akun Youtubenya kritik terhadap pemerintah, khususnya Presiden Indonesia dengan metode mural, status di media sosial, hingga Youtube bukanlah tindakan kriminal.
Sehingga, pelukis atau pembuat status di media sosial yang mengkritik pemerintah tidak bisa dihukum karena itu merupakan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Salah satu tugas seniman jalanan adalah mewakili suara rakyat. Hal itu sudah dilakukan sejak lama, bahkan sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Belanda. Mural merupakan media dan sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan karena dilihat banyak orang.
Pada zaman Presiden Soeharto banyak mural yang dihapus karena berisi kritik dan menyindir penguasa. Pembuatnya dikejar-kejar tentara.
Yayak Yatmaka salah satunya. Seniman asal Yogyakarta ini diburu pemerintah Orde Baru gara-gara membuat gambar yang membuat marah penguasa.
Mengapa pemerintah gerah dengan mural yang berisi kritik sosial? Mengapa masyarakat memilih mural untuk menyampaikan pendapat dan kritik? Benarkah mural lebih efektif?
Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (18/8/2021), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.