Kuatnya bias gender di dalam historiografi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kuatnya budaya patriarki di dalam kehidupan masyarakat.
Seolah-olah sejarah Indonesia adalah sejarahnya laki-laki, padahal perempuan dan laki-laki memiliki peranan yang sama-sama penting dalam perkembangan sejarah bangsa.
Di era pandemi Covid-19, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Merujuk data catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan 2021, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2020 tercatat 299.911.
Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatakan drasitis yakni 60 persen dari 1.413 kasus pada 2019 menjadi 2.389 kasus pada 2020.
Rendahnya pelibatan perempuan dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan di pemerintahan dan lembaga-lembaga publik menyebabkan kebutuhan dan kepentingan perempuan serta pemenuhan hak-hak perempuan tidak terakomodasi.
Disamping itu, situasi pandemi juga menambah deretan panjang kasus perkawinan anak dibawah usia. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut satu dari 9 perempuan di Indonesia menikah.
Kemiskinan, ketimpangan jender, ketiadaan akses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan reprosuksi yang terbatas, dan peluang kerja yang terbatas mengekalkan praktik pernikahan dini serta kelahiran bayi dari perempuan di bawah 18 tahun (Listyarti, 2017).
Tentu masih banyak lagi isu-isu perempuan lainnya yang masih berada dalam pusaran persoalan.
Kondisi ini ternyata tidak hanya mengancam kehidupan perempuan, tetapi juga konsensus kebangsaan dan kehidupan demokrasi.
Dalam pembukaan UUD 1945 ada empat tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia yakni melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa hingga kontribusi pada ketertiban dunia.
Meskipun dalam beberapa bidang telah menunjukkan capaian yang diamanatkan, akan tetapi problematika perempuan masih menjadi pekerjaan rumah untuk mencapai tujuan sesuai pembukaan UUD.
Pertama, pemberian perlindungan bagi seluruh bangsa, atas dasar kasus kekerasan perempuan yang kerap kali terjadi, menandakan implementasi terhadap Pasal 28I UUD yang menyatakan hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun belumlah terwujud.
Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah indikator, di antaranya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), baik pada bidang kesehatan maupun pendidikan. Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan masih nyata.
Potret kemiskinan sangat lekat dengan perempuan. Bahkan kemiskinan yang dialami keluarga dengan kepala keluarga perempuan kondisinya lebih buruk dibandingkan kepala keluarga laki-laki.