Oleh: Neni Nur Hayati
PERINGATAN Hari Kemerdekaan Ke-76 RI menjadi momen penting bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Tentu, kemerdekaan bukan hanya sekedar perayaan seremonial belaka dengan upacara bendera, mengibarkan sang saka merah putih di halaman rumah, menancapkan umbul-umbul di sepanjang jalan atau ramai-ramai memasang meme.
Kemerdekaan adalah soal sikap mental mencintai Tanah Air sepenuh jiwa dan diartikulasikan dalam wujud perilaku baik dengan nalar yang sehat.
Merayakan kemerdekaan sejatinya juga memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi tentang perjalanan bangsa ini serta membulatkan tekad bersama mengatasi berbagai macam persoalan guna memajukan Indonesia menuju satu abad pada 2045.
Sudah seharusnya bangsa ini semakin dewasa dalam segala hal. Politiknya berdaulat, ekonominya berdikari, kebudayaannya menunjukkan kepribadian yang jelas, sehingga kemerdekaan benar-benar menyentuh dimensi substansial.
Sudah sepatutnya kita mengucap rasa syukur atas nikmat kemerdekaan bangsa ini yang telah banyak mencapai kemajuan, meskipun disisi lain tantangan yang dihadapi negeri ini juga semakin kompleks.
Para pelaku sejarah telah membuktikan menegakkan kemerdekaan dengan berbagai kesulitan untuk terus bertransformasi ke arah yang lebih baik. Termasuk kaum perempuan yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Jepang.
Sejarah mencatat pada kongres nasional pertama organisasi-organisasi perempuan yang diadakan di Yogyakarta pada Desember 1928 secara eksplisit telah mengisyaratkan orientasi nasionalisnya (Blackburn, 2007).
Bahkan hingga kini, ruang percakapan untuk mendiskusikan politik perempuan dalam menanggapi problem kebangsaan dan agensi perempuan dalam mentransformasi kebangsaan Indonesia selalu terbuka.
Membangun diskursus di ruang publik (public sphere) ini sangat krusial bagi perempuan. Sebab, perjuangan perempuan sejak masa pra-kemerdekaan hingga pascareformasi nyatanya belum dapat sepenuhnya menempatkan perempuan sebagai warga dengan hak yang penuh dan setara.
Dalam riset yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan mengungkap bahwa perempuan kerap kali dijadikan alat mobilisasi kebangsaan dan kepentingan perempuan seolah dipandang sebelah mata oleh aktor-aktor politik yang mengelola negara.
Terbukti, masih terdapat kebijakan yang belum pro terhadap perempuan dan anak. Problematika ini seakan menjadi isu yang tak pernah usai (never ending issues).
Munculnya peraturan daerah (perda) yang diskriminatif terhadap perempuan dengan mengatasnamakan moralitas dan agama yang ironisnya dalam proses penyusunannya juga didukung dan/atau diusung oleh partai politik nasionalis/sekuler (Dhewy, 2018).
Tak hanya itu, ternyata dalam penulisan sejarah dan narasi perempuan terkait tema kebangsaan baik dalam bentuk kajian akademis maupun budaya populer (film) juga masih diwarnai adanya bias gender, kelas, ras, etnis, agama, dan lain-lain.