Semangat kebhinekaan memang selayaknya terus hidup dalam setiap jiwa anak bangsa, karena rajutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertumpu di atasnya.
Ia tidak boleh usang dengan alasan perkembangan teknologi dan informasi. Tak boleh lekang juga dengan pengaruh revolusi industri 4.0 yang membutuhkan transformasi fundamental di segala lini pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Upaya untuk mampu bersaing dengan dunia global—dengan menyiapkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) serta kecanggihan piranti teknologi—tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan kebhinekaan.
Semua upaya itu tetap harus dalam satu tarikan napas. Kebhinekaan merupakan oksigen yang menjadikan Indonesia tetap kokoh hingga kini dalam bingkai Negara kesatuan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik hasil sensus penduduk 2010, ada 1.331 kelompok suku di Indonesia. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun mencatat setidaknya ada 652 bahasa daerah di Nusantara.
Kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan atau sunatullah, ketetapan alam yang menjadi kehendak Tuhan. Itulah prinsip kebangsaan yang oleh Bung Karno didalilkan dalam pidato di Sidang Umum ke-XV PBB pada 30 September 1960.
Dalam pidato yang diberi judul To Build The World A New itu, Bung Karno menyitir Al Quran surat Al-Hujarat ayat ke-13.
Terjemahan ayat itu, “Hai manusia, sesungguhnya Kami (Allah SWT) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dengan demikian, sesungguhnya upaya-upaya untuk menggelorakan kebhinekaan dengan menempatkannya sebagai hal yang selalu relevan dalam konteks bernegara merupakan langkah tepat dalam menjaga fitrah kebangsaan.
Meskipun secara umum kita tetap mensyukuri bahwa keberagaman bangsa ini di usianya yang sudah memasuki 76 tahun tetap menjunjung nilai-nilai persatuan, ada celah yang lambat laun rawan melebar dan mudah disulut. Ada situasi bagai api dalam sekam.
Sebagai gambaran, dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, buah dari kebhinekaan adalah hidup toleran, yaitu berdampingan secara damai dan saling menghargai dalam keragaman.
Baca juga: Kepak Sayap Puan Ditunggu di 38 Derajat Lintang Utara
Namun, temuan riset menunjukkan ada gejala yang cukup mengkhawatirkan, yang rawan mencadi ancaman bagi kebhinekaan bangsa Indonesia dan kehidupan masyarakat yang toleran.
Misalnya, temuan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dirilis pada Maret 2021 lalu menunjukkan bahwa 30,16 persen mahasiswa Indonesia masuk kategori rendah sikap toleransinya.
Rinciannya, mahasiswa yang sikap toleransi beragama rendah sebanyak 24,89 persen dan yang sangat rendah sikap toleransinya sebanyak 5,27 persen.
Fakta itu cukup mencengangkan karena terjadi di kalangan mahasiswa, yang merupakan pemegang masa depan bangsa, yang padanya melekat label agent of change.