Dibawa ke Yogyakarta
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan berarti perjuangan usai. Belanda masih tetap ingin menguasai Indonesia sehingga pertempuran dan perjuangan masih berlanjut.
Pada 4 Januari 1946, situasi Jakarta sangat genting, Presiden RI Soekarno dan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta meninggalkan Jakarta menunju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api.
Bendera pusaka turut dibawa dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Baca juga: Hilangnya Bendera Pusaka Saat Peralihan Kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto...
Pada 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2 di Yogyakarta. Serangan militer dilakukan pada 19 Desember 1948 ini akhirnya menjatuhkan Yogyakarta ke tangan Belanda.
Presiden Soekarno yang mengetahui bahwa dirinya akan ditawan, kemudian memanggil ajudannya Husein Mutahar untuk diberikan tugas kepadanya yaitu mengamankan bendera pusaka agar tidak sampai jatuh ke tangan Belanda.
"Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi, untuk menajaga Bendera kita dengan nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Soekarno kepada Husein Mutahar seperti yang tertulis dalam buku Bung Karno: Penyambung lidah rakjat Indonesia karangan Cindy Adams.
"Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau menngembalikannnya sendiri kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantinkanku sekiranya umurku pendek. Andai kata engkau gugur dalam menyelematakan bendera pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya," lanjut Soekarno.
Baca juga: Cerita Megawati Saat Bendera Pusaka Dibelah Dua...
Husein Mutahar terdiam. Kemudian ia memejamkan matanya dan berdoa. Di sekelilingnya bom berjatuhan. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota.
Dalam keadaan genting itu, Husein Mutahar berpikir cepat untuk menemukan cara mengamankan bendera pusaka tersebut, yaitu dengan membuka jahitan bendera memisahkan warna merah dan putih dengan bantuan Ibu Pema Dinata.
Husein Mutahar kemudian meletakkan masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang diisi dengan pakaian pribadinya. Husein Mutahar berpikir bila bendera pusaka dipisahkan, tidak dapat disebut bendera karena hanya dua carik kain merah dan putih untuk menghindari penyitaan dari Belanda.