Rumah Hatta memang dekat dengan rumah Sukarno. Hatta di Jl Diponegoro, Sukarno di Jl Pegangsaan. Menurut Hatta, ia hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di tujuan.
Setelah Orde Baru tumbang, pada 2007 buku karya Cindy Adams itu diterjemahkan ulang. Kali ini penerjemahnya adalah Syamsu Hadi, seorang wartawan senior. Buku ini diterbitkan langsung oleh Yayasan Bung Karno yang dipimpin Guruh Sukarno Putra.
Guruh anak Bung Karno yang mencintai buku. Hanya Guruh yang menuliskan nama Sukarno pada namanya dengan ejaan "u" pada Sukarno. Anak-anak Sukarno lainnya menuliskannya dengan ejaan "oe".
Sukarno sendiri memang memilih ejaan "u", bukan "oe" untuk penulisan namanya. Namun, di tanda tangannya tetap menggunaan ejaan "oe".
Sebagai kepala negara, Sukarno konsisten dengan kebijakan yang ia buat yang mengganti ejaan "oe" menjadi "u" pada 1947, yaitu Ejaan Soewandi (Ejaan Republik) yang menggantikan Ejaan van Ophuijsen (berlaku sejak 1901).
Buku terjemahan Cindy Adams yang direvisi ini terbit dengan 415 halaman. Dua alinea selundupan itu sudah tidak ada lagi.
Seperti bisa dibaca di halaman 267 ini:
“Sekarang, Bung, sekarang…!” rakyat berteriak. Bacakan Proklamasi sekarang….!” Setiap orang berteriak kepadaku. “Sekarang, Bung…ucapkan pernyataan kemerdekaan sekarang! Bung, hari sudah siang…matahari mulai panas…rakyat gelisah. Mereka sudah tidak sabar lagi. Mereka sudah berkumpul di halaman depan. Ucapkan Proklamasi!” Aku masih menderita demam, tetapi aku tidak kehilangan akal. Menghadapi desakan-desakan kepadaku, yang mengherankan, aku masih berpikir dengan jernih.
“Hatta belum datang,” kataku. “Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta.”
“Pada momen yang kritis dalam sejarah ini, Sukarno dan Indonesia menunggu kedatangan Hatta.”
Dengan terbitnya edisi revisi ini maka upaya distorsi sejarah dan adu domba para pemimpin bangsa pun berakhir.
Namun, ihwal ini pernah menjadi laporan utama majalah Tempo pada edisi 29 Desember 2014-4 Januari 2015. Hal itu bertepatan dengan kedatangan Cindy Adams ke Jakarta.
Tempo melakukan wawancara dengan Cindy untuk mengklarifikasi tentang kasus tersebut. Ia mengaku tidak tahu tentang penyelundupan dua alinea tersebut.
“Tidak, saya tidak pernah tahu hal itu. Apa isi paragraf tersebut?” katanya.
Bahkan, ia menegaskan, “Saya tidak mungkin menulis hal itu. Hatta ada di sana ketika saya mewawancarai Bapak.”
Tempo juga mewawancarai anak Abdul Bar Salim—karena yang bersangkutan telah meninggal—yang bernama Erwin Salim.
“Dua paragraf itu jelas bukan dari bapak saya,” katanya.
Ia juga menerangkan bahwa ayahnya bukan intelijen dan saat menerjemahkan buku itu ayahnya sudah pensiun dari tentara. Penerjemahan itu, katanya, atas permintaan Haji Masagung sendiri. Ini setelah buku yang diterjemahkan ayahnya sebelumnya, Revolt in Paradise, laku keras.
Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi, Hatta banyak mengklarifikasi dan meluruskan opini dan cerita tentang penculikan Rengasdengklok, riwayat perumusan naskah proklamasi, proses proklamasi, dan perseturuan Sukarno-Hatta dengan kelompok API-Mahasiswa-Syahrir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.