Kedua orang ini kebetulan bersahabat sejak di Belanda dan kemudian di PNI (Pendidikan). Keduanya juga sama-sama dari Minangkabau.
Syahrir juga menolak bergabung dalam gerakan yang atas restu Jepang dan berbau Jepang. Karena itu Syahrir tak terlibat dalam BPUPK, yang dibentuk Jepang, maupun dalam momen-momen proklamasi yang juga melibatkan perwira Jepang, yaitu rapat-rapat di rumah Laksamana Maeda.
Sedangkan Sukarno dan Hatta justru bekerja sama dengan Jepang. Karena itu, Syahrir memang tak ada dalam peristiwa proklamasi.
Dengan dua alinea itu, Hatta menjadi berada dalam satu ayunan dengan Syahrir. Bahkan, jika dibaca secara keseluruhan pada bab proklamasi ini, ada kesan bahwa proklamasi tertunda karena Hatta datang terlambat.
Namun, ternyata dua alinea ini tidak ada dalam edisi aslinya. Ini alinea selundupan. Pada Bab 26 yang berjudul Proclamation (halaman 216-220) dalam versi buku berbahasa Inggris, dua alinea selundupan itu diletakkan antara dua alinea pendek di bawah ini (lihat halaman 219):
“Hatta is not present,” I said. “I will not read the Proclamation without Hatta.”
At this crucial moment in history, Sukarno and Indonesia waited for Hatta to show up.
Bayangkan, di alinea sebelumnya juga ada alinea seperti ini:
“Now, Bung, now….” The people were clamoring. “Make the Proclamation now….” Everybody was calling out to me. “Now, Bung…speak the words of freedom now…please, Bung, it is late…the sun is getting hot…the people are excited. They are restless. They are herded together out in the frontyard. Speak the Proclamation.” I still had fever, but I kept my wits about me. In the light of all the pressure on me, it is amazing I could still function clearly.
Buku Cindy Adams yang diterjemahkan Abdul Bar Salim dan diterbitkan Gunung Agung membuat Bung Hatta tersengat. Ia membuat tulisan khusus yang membahas soal peristiwa Proklamasi. Tulisan itu dibuat pada Maret-September 1968 di East-West Center, Honolulu, Amerika Serikat.
Sebagian tulisan itu pernah ia tuliskan pada 1951 yang dimuat di Mimbar Indonesia. Akhirnya tulisan itu terbit pada 1970 dalam bentuk buku tipis (75 halaman) yang berjudul Sekitar Proklamasi.
Pada halaman 64, di akhir Bab Proklamasi, setelah mengutip cukup panjang dari buku terjemahan Abdul Bar Salim—mulai alinea “Sekarang, Bung, sekarang…” hingga alinea “Dalam detik yang gawat…”—Bung Hatta menulis, “Inilah utjapan seorang diktator Sukarno, jang mengagungkan dirinja sendiri dan lupa daratan, berlainan dari Sukarno dahulu, pemimpin rakjat dimasa proklamasi dan sebelumnja.”
Dalam tulisannya, Bung Hatta bercerita bahwa setelah mereka selesai menyusun naskah proklamasi—Bung Hatta yang mendiktekan dan Bung Karno yang menuliskan—hingga pukul 03.00 pagi di rumah Laksamana Maeda, mereka bersepakat tentang pernyataan proklamasi.
Hatta menulis: “Sebelum rapat ditutup Bung Karno memperingatkan, bahwa hari itu djuga, tanggal 17 Agustus 1945, djam 10 pagi proklamasi itu akan dibatjakan dimuka rakjat di halaman rumahnja di Pegangsaan Timur 56.”
Hatta yang dikenal sebagai pribadi yang disiplin dan efisien, hadir tepat waktu. “Lima menit sebelum pukul 10 saja sudah berada disana. Orang tahu bahwa saja selalu tepat menurut waktu, sebab itu tidak ada orang jang gelisah, takut kalau-kalau saja terlambat datang. Sukarno pun tidak kuatir, karena ia tahu kebiasaan saja.”