"Whatever it takes, apa pun kita lakukan untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian Indonesia." --- Sri Mulyani
UCAPAN Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam merespons melonjaknya jumlah korban dan pasien virus corona sepanjang bulan juli lalu perlu ditindaklanjuti dengan upaya serius pemerintah dalam mempercepat Indonesia merdeka dari pandemi yang kurang lebih telah 1,5 tahun membelenggu negeri.
Upaya pertama yang dilakukan adalah menambah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2021.
Pemerintah menambah alokasi penanganan sektor kesehatan dan perlindungan sosial, masing-masing menjadi Rp 214,95 triliun dan Rp 187,84 triliun dengan total penambahan sebesar Rp 55,21 triliun.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana memastikan penambahan anggaran dapat menghentikan dua persoalan akibat pandemi, yakni penyebaran virus yang masif dan resesi yang dapat berujung pada krisis ekonomi?
Sejak masuknya virus corona ke Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan dana lebih dari Rp 1.500 triliun untuk program penanggulangan pandemi.
Alih-alih secepatnya merdeka, besarnya dana yang telah dikeluarkan justru berpotensi menimbulkan krisis ganda; tidak terkendalinya dampak pandemi, dan krisis ekonomi.
Lemahnya tata kelola penanggulangan pandemi menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini dibuktikan dari pengalaman tahun lalu Indonesia berhadapan dengan virus yang saat ini telah menginveksi penduduk di dua pertiga negara-negara dunia.
Di awal saat satu dua warga terinveksi, pemerintah cenderung menafikan fakta bahwa virus sudah masuk ke Indonesia. Reaksi baru dilakukan saat korban bertambah dengan hitungan cepat, melewati deret angka dan menuju deret ukur.
Ketidaksiapan pemerintah semakin jelas saat berurusan dengan data. Mulai dari acuan berbeda antara pusat dan daerah untuk menentukan masyarakat yang berhak menerima dana bantuan sosial, hingga perbedaan data penderita corona antara pemerintah pusat dan organisasi non pemerintah.
Hingga 31 Juli 2021, pemerintah menyebut lebih dari 94.000 warga negara meninggal akibat pandemi. Sementara data organisasi non-pemerintah mencapai 100.000 orang.
Kondisi ini diperparah dengan cerita miris yang menimpa tenaga kesehatan. Mereka yang seharusnya paling aman (mendapat fasilitas dari negara) karena berada di garda terdepan untuk melawan, justru terpapar virus dan ironisnya tidak sedikit dari mereka berujung pada hilangnya nyawa
Sebagian lagi, jangankan mendapat tanda jasa, upah yang merupakan hak mereka saja tidak kunjung tiba.
Pada sisi lain, koordinasi antar pemerintah pusat dengan daerah juga tidak berjalan mulus. Di awal pandemi, banyak kepala daerah yang tidak percaya bahwa pandemi sudah menyerang negeri ini. Sebagian justru melanggar kebijakan PSBB yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Kebijakan pelibatan masyarakat juga tidak kuat. Koalisi masyarakat sipil yang terbentuk atas keprihatinan penanganan pandemi tidak secara serius dirangkul dan diajak berkolaborasi.