JAKARTA, KOMPAS.com – Stigma dan label "taliban" menjadi dasar pemutusan kerja pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) nyata terjadi.
Hal itu disampaikan komisioner Komnas HAM saat membacakan laporan penyelidikan atas penyelenggaraan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui TWK.
“Telah terjadi pembebastugasan pegawai KPK yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja melalui alih status asesmen TWK. Penggunaan stigma dan label taliban menjadi basis dasar pemutusan kerja melalui proses alih status pegawai KPK menjadi ASN nyata terjadi,” ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers virtual, Senin (16/8/2021).
Baca juga: Komnas HAM Sebut Proses Pengusulan TWK oleh Pimpinan KPK Tak Lazim
Menurut Anam, hal itu nampak dari perubahan mandat dan substansi alih status dari pengangkatan menjadi pengalihan, hingga disepakati menjadi asesmen atau seleksi dalam proses pembentukan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 yang menjadi pedoman tata cara pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN.
“Tujuannya menyingkirkan atau menyaring pegawai dan label stigma yang dimaksud mulai dari membentuk perkom, kerja sama dengan BKN, pembiayan, menentukan metode, pihak yang terlibat, asesor asesemen hingga penyusunan jadwal pelaksanaan (TWK),” papar Anam.
Proses menyingkirkan beberapa pegawai itu, menurut Anam, juga terepresentasi dari tidak terbuka dan transparannya penyelenggaraan TWK.
Padahal, menurut dia, mekanisme alih status pegawai KPK cukup dengan proses administratif.
“Penyelenggaraan yang tidak transparan, diskriminatif dan terselubung, serta dominiasi pihak tertentu dalam penetapan hasil tidak memenuhi syarat (TMS) dan memenuhi syarat (MS) hingga pasca penyelenggaraan yang juga tidak terbuka,” kata dia.
“Pengumuman hasil yang menimbulkan ketidakpastian, pembebastugasan yang TMS hingga pemilihan waktu pelantikan 1 Juni 2021 yang merupakan Hari Lahir Pancasila. Padahal mekanisme alih status pada pegawai KPK sebagai konsekuensi dari perubahan UU KPK Nomor 19 tahun 2019 cukup melalui administrative adjustment,” kata Anam.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Ada Upaya Pengaburan Kebenaran Libatkan pada TWK KPK
Komnas HAM juga mencatat bahwa penyelenggaraan TWK sebagai alih status pegawai KPK tidak hanya merupakan wujud pelaksanaan UU Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020.
Namun, Komnas HAM menemukan bahwa pelaksanaan TWK itu memiliki maksud lain yaitu menyingkirkan pegawai tertentu.
“Pelaksanaan UU tersebut digunakan sebagai momen untuk meneguhkan stigma dan label didalam internal KPK,” kata Anam.
Diberitakan sebelumnya, Komnas HAM menemukan berbagai kejanggalan dan tindakan pelanggaran HAM dalam proses penyelenggaraan TWK.
Seperti adanya profiling yang dilakukan pihak penyelenggara TWK pada pegawai-pegawai tertentu.
Profiling itu tidak hanya dilakukan dengan memantau media sosial pegawai tapi juga mendatangi rumah beberapa pegawai lembaga antirasuah itu.
Baca juga: Komnas HAM Temukan Profiling Hanya pada Beberapa Pegawai KPK yang Ikuti TWK
Kemudian, Komnas HAM menemukan adanya penggunaan kop Badan Kepegawaian Negara (BKN) oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) dalam pelaksanaan tes esai pada TWK tersebut.
Anam menyebut bahwa tindakan itu merupakan upaya pengaburan kebenaran, karena seolah-olah BKN yang membuat soal esai tersebut, padahal pembuatannya dilakukan oleh BAIS.
Dengan berbagai temuan itu Komnas HAM akhirnya menyatakan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN dengan penyelenggaraan TWK telah melanggar hak asasi manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.