Ini artinya pemerintah anti-kritik. Hal ini berbanding terbalik seperti yang diucap oleh Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi terbuka dengan kritik.
"Jadi dari sisi itu, tesis Mas Faldo batal bahwa ternyata bapak presiden tidak welcome dengan kritik," katanya.
Menurut Ubedillah, jika Indonesia memang benar-benar menganut sistem demokrasi, seharusnya pemerintah membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk mengupas pesan dari mural tersebut.
Apa yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh masyarakat dari mural tersebut. Sebab mural adalah salah satu media dari masyarakat untuk berekspresi, untuk menyampaikan pendapat atau kritikan.
"Ayo dijadikan perdebatan dari isi mural itu, apa makudnya? Kalau isi dari mural itu kemudian jadi persoalan. Apa yang disoalkan kalau itu yang terjadi itu akan bagus. Masyarakat punya hak mengkritik pemerintah dengan pesan-pesan simbolik, pesan simbolik itu kita kupas isinya apa, apa motifnya itu akan lebih sehat dari sisi demokrasinya," ujarnya.
"Tapi kalau itu langsung dihapus, tanpa kepala daerahnya bersuara, juga langsung ditangani pusat itu berarti kan ada persoalan," lanjut Ubedilah.
Baca juga: Sederet Kisah Kepala Daerah di Akhir Masa Jabatan, Ada yang Meninggal dan Diberi Hadiah Mural
Senada dengan Arsitek dan Ahli Tata Kota Bambang Eryudhawan. Menurut Yudha pemerintah seharusnya tidak bersikap represif. Sebaliknya, pemerintah harus memaknai mural sebagai seni dan media seseorang dalam mengemukakan pendapat.
Terlebih, saat ini banyak sekali komunitas kesenian mural, grafiti dan seni jalanan yang terus berkembang.
"Jadi pemerintah juga mesti menyadari bahwa selain sebagai kesenian, mural sebagaimana perkembangannya juga turut menjadi media untuk berpendapat. Hanya, dulu mural-mural itu dilarang, tapi masa pemerintah saat ini mau seperti itu," ujar Yudha saat dihubungi Kompas.com, Minggu (15/08/2021).
Keberadaan mural dan seni jalanan ini, kata Yudha, awalnya dianggap sebagai urban kill dan hanya mengotori pemandangan perkotaan.
Namun, seiring perkembangan zaman, kota-kota di dunia justru banyak yang mengintegrasikan mural tersebut dengan desain arsitektur.
"Jadi mural ini diintegrasikan untuk memperindah penataan kota menjadi lebih baik, apalagi mural dibuat pada fasad atau bangunan-bangunan kosong tak berpenghuni, dan membuatnya lebih hidup," kata Yudha.
Yudha menyadari bahwa setiap pemerintah kota memiliki aturan terhadap penataan ruang publik dihias dengan mural. Tetapi perlu diingat juga bahwa mural telah melembaga sebagai simbol dari kebebasan berpendapat seseorang.
"Jadi keberadaan mural itu memang tergantung aturan pemerintah kota, tetapi jika mural Presiden Jokowi dianggap menghina, pertanyaan berikutnya apakah tidak ada lagi kebebasan berekspresi di negeri ini?," katanya.
Baca juga: Cerita di Balik Mural “Rudy Cukur Gibran” di Solo