JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mengatakan, konflik kepentingan yang melibatkan para pejabat ada yang tampak secara terang-terangan dan ada juga yang terselubung.
Contoh konflik kepentingan yang terang-terangan atau vulgar menurut Laode yaitu dalam kasus mantan Staf Khusus Presiden Andi Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Delvara.
"Ini anak-anak baru belajar sudah mau korup. Ini conflict of interest yang nyata. Jadi kalau di Indonesia itu terang-terangan," ujar Laode dalam diskusi daring yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (15/8/2021).
Baca juga: Jokowi Belum Berencana Angkat Staf Khusus Pengganti Belva dan Andi
Belva yang merupakan CEO Ruang Guru mengundurkan diri setelah adanya kontroversi terpilihnya Ruang Guru sebagai salah satu mitra program Kartu Prakerja.
Sementara itu, Andi menyurati para camat untuk mendukung program perusahan pribadinya, PT Amarta Fintech, dalam penanganan Covid-19. Keduanya lantas mengundurkan diri dari jabatan staf khusus presiden.
Contoh lainnya, kata Laode, yaitu permintaan salah satu politikus PAN agar para pejabat mendapatkan fasilitas rumah sakit khusus Covid-19.
"Politikus PAN tidak malu-malu itu minta pemerintah menyediakan RS Covid-19 khusus pejabat," ucapnya.
Laode melanjutkan, contoh konflik kepentingan terselubung juga terlihat dalam rencana program vaksinasi Covid-19 berbayar. Mulanya, vaksinasi berbayar itu akan dilaksanakan oleh PT Kimia Farma.
"Siapa yang mendapatkan keuntungan? Apakah berbeda dengan vaksin yang dibeli dengan uang sebelumnya? Ini agak terselubung. Yang terselubung-terselubung ini biasanya agak sulit," kata dia.
Baca juga: Vaksin Berbayar Dinilai Akan Munculkan Diskriminasi, Permenkes Vaksinasi Gotong Royong Harus Dicabut
Ada pula pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja dan revisi UU Mineral dan Batubara. Menurut Laode, ini menjadi contoh konflik kepentingan terselubung karena banyaknya anggota DPR yang berlatar belakang sebagai pengusaha.
Ia pun mengatakan, berbagai peristiwa ini bisa jadi merupakan tanda-tanda korupsi melalui peran negara atau state capture corruption.
Mantan komisioner KPK itu memaparkan, ada tiga ciri korupsi melalui peran negara. Pertama, pemerintah memfasilitasi perusakan/penyelewengan uang negara dengan kebijakan.
"Sehingga dibuat seolah-olah menjadi legal. Akhirnya tidak bisa ditangkap, karena perbuatan melawan hukumnya tidak ada," ujar Laode.
Kedua, membiarkan kejahatan di depan mata. Ketiga, mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan.
"Menurut saya this is more than conflict of interest (lebih dari konflik kepentingan). Bisa jadi ini adalah state capture corruption," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.