JAKARTA, KOMPAS.com - Kekerasan terhadap warga negara akan terus berulang jika pemerintah tak kunjung menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Sepanjang 2020, Komnas HAM menerima 2.841 pengaduan masyarakat terkait pelanggaran atau kekerasan HAM.
Dari jumlah tersebut yang paling banyak dilaporkan masyarakat adalah pihak kepolisian dengan 748 kasus. Kemudian, korporasi 455 kasus, dan pemerintah daerah sebanyak 276 kasus.
Baca juga: Komnas HAM Terima 2.841 Aduan Masyarakat Sepanjang 2020, Terbanyak Terkait Polisi
Staf Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty mengatakan, kekerasan HAM yang tak diselesaikan akan memicu tindakan kekerasan lainnya.
"Kekerasan pelanggaran HAM yang terus dilakukan aparat tentu tidak terlepas dari kekerasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak pernah diselesaikan," kata Pretty, saat dihubungi, Jumat (13/8/2021).
"Jadi lingkaran kekerasannya juga tidak akan pernah putus. Berputar terus di kesalahan yang sama," tutur dia.
Pretty mengatakan ketidaktegasan pemerintah dalam penuntasan kasus HAM telah melahirkan impunitas.
Aparat negara cenderung tidak memiliki rasa takut ketika melakukan pelanggaran, sebab tidak ada preseden terkait penegakan HAM, terutama dalam memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.
Oleh sebab itu, ia mempertanyakan komitmen penuntasan kasus HAM masa lalu oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Kasus HAM berat masa lalu yang tidak pernah ditegakkan itu memberi pesan dan contoh buruk bagi aparat yang sekarang, untuk tidak usah takut kalau melakukan kejahatan HAM dalam pekerjaannya," ucap Pretty.
"Toh penjahat-penjahat HAM bebas melenggang kok, jadi tidak perlu takut. Seperti itu bunyi pesannya," ungkap dia.
Baca juga: Utang yang Tak Kunjung Lunas: Pelanggaran HAM Berat pada Masa Lalu
Sebelumnya Ketua Komnas HAM Taufan Damanik meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Adapun 12 kasus tersebut meliputi peristiwa 1965, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari 1989, tragedi Trisakti, Semanggi dan II pada 1998 serta 1999.
Kemudian kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 1997-1998, peristiwa Wasior 2001 dan Wamena pada 2003, pembunuhan terkait isu dukun santet pada medio 1998.
Selanjutnya, peristiwa simpang KAA pada 1999, Jambu Keupok tahun 2003, Rumah Geudong 1998, dan peristiwa Paniai 2004.
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Presiden Joko Widodo berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas.
Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita.
Dalam salah satu poin dari sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Baca juga: Pilpres 2019, Antiklimaks Perlindungan HAM
Kemudian, Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah beban sosial politik.
Delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dimaksud di sini adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965.
Namun, harapan akan keadilan tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Janji tinggal janji. Setidaknya hingga hari ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.