Menurut Adi, pemasangan baliho membuat seorang politisi menjadi perbincangan publik, tetapi umumnya bernada negatif.
"Alih-alih mendapatkan simpati dan dukungan publik, yang ada malah cibiran kan? Coba dicek, sejak munculnya baliho-baliho di pinggir jalan, orang bukannya respek, yang ada ya bully-an, kritik keras," kata Adi.
"Bahkan caci-maki tidak berkesudahan karena dianggap mereka ini asyik dengan dunia mereka sendiri, enggak sensitif dengan kondisi bangsa," kata Adi melanjutkan.
Baca juga: Gibran Pesan Baliho Kepak Sayap Kebhinekaan Bergambar Puan Maharani
Adi mengatakan, sentimen negatif itu muncul karena tidak diikuti dengan kebijakan dan kerja nyata dalam membantu masyarakat yang tengah kesulitan akibat pandemi.
Ia menuturkan, baliho memang menjadi medium paling efektif untuk mengenalkan seseorang ke publik karena dapat diakses dan dilihat oleh masyarakat banyak.
Akan tetapi, hal itu mesti diikuti kerja nyata membantu masyarakat agar mereka mendapat tanggapan positif dari publik.
"Dikenal publik tidak otomatis publik ini suka dan simpatik, itu yang saya bilang makanya baliho itu harus menjadi barang hidup, diterjemahkan dengan program-program nyata," ujar Adi.
Adi mengatakan, Puan, Airlangga, dan Muhaimin sebagai elite politik semestinya dapat mengonsolidasikan partai mereka untuk membantu masyarakat.
Ia mencontohkan, para elite partai itu dapat melobi semua fraksi di DPR untuk memotong gaji anggota dewan dan mendonasikannya kepada masyarakat.
"Kalau itu yang dilakukan, salah satunya ya, maka baliho-baliho itu bukan hanya di pinggir jalan, publik akan berebut baliho itu untuk ditaruh di rumah mereka masing-masing karena dianggap sebagai dewa penolong," ujar Adi.
Baca juga: Marak Baliho Politisi, Pengamat: Alih-alih Mendapat Simpati, yang Ada Malah Cibiran
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.