JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dipilihnya mantan narapidana kasus korupsi untuk menjabat sebagai komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukan adanya pemakluman pada tindak pidana korupsi.
Hal itu disampaikan Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menanggapi diangkatnya Emir Moeis sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang merupakan anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero).
Emir Moeis merupakan mantan anggota DPR RI dari fraksi PDI-P yang dinyatakan terbukti menerima suap dalam proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tarahan, Lampung, tahun 2014 lalu.
"Jadi saya kira ada pemakluman terhadap korupsi yang membuat para eks napi korupsi bisa menjadi pejabat publik lagi. Korupsi sudah dianggap biasa, masalah kecil, yang tidak membawa risiko apapun pada bangsa ini," terang Adnan pada Kompas.com, Jumat (6/8/2021).
Baca juga: Perjalanan Emir Moeis, Sejak Terjerat Korupsi hingga Kini Jadi Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda
Adnan mengatakan kebijakan tersebut telah melanggar prinsip pemerintahan yang kredibel dan bersih dari korupsi.
Padahal, lanjut Adnan, untuk bisa menjadi pejabat publik diperlukan standar etika dan integritas yang tinggi.
"Karena power tends to corrupt, berbagai aturan telah menegaskan pentingnya standar tinggi para pejabat publik. Nah ini kok yang dipilih eks napi korupsi," tegasnya.
Ia juga menuturkan bahwa diangkatnya Emir Moeis seolah-olah tidak ada sosok lain yang kredibel untuk mengawasi kinerja BUMN.
"Seperti Indonesia ini tidak punya calon lain yang lebih kredibel untuk ditunjuk sebagai pengawas BUMN," ucap dia.
"Kita jadi seperti kekurangan orang yang bagus, bersih dan kompeten," imbuh dia.
Baca juga: Kementerian BUMN Diminta Jelaskan Alasan Penunjukan Emir Moeis Sebagai Komisaris
Diketahui dari laman resmi perusahaan, Emir Moeis diangkat menjadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) pada 18 Februari 2021.
Ia ditunjuk oleh komisaris para pemegang saham PT Pim.
Menilik kebelakang, pada tahun 2014, Emir Moeis pernah divonis oleh majelis hakim 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan.
Kala itu hakim menilai Emir yang menjabar sebagai anggota Komisi VII menerima 357.000 dolar AS dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate asal Jepang melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.
Hakim menjelaskan bahwa Emir terbukti menerima suap dar konsorsium Alstom melalui rekening perusahaan milik anaknya yaitu PT Arta Nusantara Utama.
Suap itu diberikan agar PT Alstom Power Incorporated dapat menjadi pemenang tende pembangunan PLTU Tarahan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.