JAKARTA, KOMPAS.com - LaporCovid-19 menyatakan bahwa ada gap atau selisih data kematian Covid-19 antara pemerintah kabupaten/kota dengan data Kementerian Kesehatan. Bahkan perbedaannya sangat jauh.
Berdasarkan hasil rekapitulasi data Covid-19 di kabupaten/kota yang dikumpulkan tim LaporCovid19 hingga 23 Juli 2021, angka kematian positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 100.436 jiwa.
Sementara, pada tanggal itu, jumlah kematian Covid-19 di Indonesia yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan sebanyak 80.598 jiwa.
Baca juga: Perjalanan 100.000 Angka Kematian Covid-19 RI, 16 Hari Terakhir Bertambah 25.000
Berarti ada selisih sebanyak 19.838 atau atau 24,6 persen korban jiwa yang dilaporkan oleh pemerintah kabupaten/kota di Indonesia tidak ada dalam laporan Kemenkes.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, adanya perbedaan data tersebut disebabkan karena pemerintah kabupaten/kota tidak melaporkan kematian Covid-19 ke sistem New-all Record (NAR).
"Karena kabupaten, kota, tidak langsung melaporkan data tersebut ke sistem NAR. Jadi kalau ada data kematian yang keluar hasil labnya harus langsung dilaporkan," kata Nadia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/8/2021).
Kondisi ini menunjukkan, ada masalah serius dalam pendataan kematian akibat pandemi di Indonesia karena ada lebih dari 19.000 pasien positif Covid-19 meninggal yang datanya belum tercatat di pemerintah pusat saat itu.
Baca juga: UPDATE: Sebaran 1.739 Kasus Kematian Covid-19, Tertinggi di Jateng dengan 466
Padahal, dengan segala sumber daya yang dimiliki, pemerintah seharusnya bisa menyajikan informasi terkait pandemi Covid-19 yang sesuai dengan kondisi lapangan, selalu diperbarui, dan sinkron dengan informasi yang dipublikasikan pemerintah daerah.
Belum lagi, angka kematian dengan status suspek dan terduga Covid-19, yang memang tidak diumumkan oleh Kemenkes.
Padahal, dari laporan sejumlah daerah, masih menurut pendataan LaporCovid-19, terdapat 22.926 korban jiwa yang meninggal dengan status terduga Covid-19.
Baca juga: Kemenkes Ungkap Angka Kematian Pasien Covid-19 Usia 46-59 Tahun Naik 5 Kali Lipat
Angka tersebut bisa jauh lebih besar, karena tidak semua daerah melaporkan kematian pasien suspek dan terduga Covid-19. Sehingga menyebabkan adanya kesenjangan jumlah korban yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 dengan angka kematian yang diumumkan.
Misalnya seperti yang terjadi di kota Malang, Jawa timur. Pada tanggal 19 Juli 2021, kota Malang melaporkan tidak ada pasien Covid-19 yang meninggal.
Tetapi, data pemakaman seperti yang dikutip dari Kompas.id menunjukkan, pada hari itu ada sebanyak 26 orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19, di mana 9 di antaranya meninggal saat isolasi mandiri.
Hal serupa juga banyak terjadi kabupaten/kota lain. Lonjakan kematian di desa-desa yang mencapai 10 kali lipat dari rata-rata juga tidak tergambar dalam data resmi karena mayoritas yang meninggal tidak didata sebagai korban, bahkan tidak dikuburkan dengan protokol Covid-19.
Misalnya, di Desa Burujul Wetan, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dari 50 orang yang meninggal pada Juli 2021, namun hanya 5 orang yang dikubur dengan protokol Covid-19.
Dalam panduan WHO disebut bahwa korban Covid-19 adalah mereka yang meninggal dengan gejala klinis Covid-19, baik yang sudah terkonfirmasi melalui tes ataupun tidak, dengan pengecualian bagi mereka yang jelas meninggalnya karena penyebab lain, misalnya karena kecelakaan.
Baca juga: UPDATE: Kasus Covid-19 Bertambah 35.867 Orang, Angka Kematian Lewati 100.000
Menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman dalam Kompas.id, sejumlah negara seperti Jepang, China, Ameriksa Serikat, dan negara-negara Eropa serta Amerika Selatan telah menyesuaikan definisi WHO ini sehingga kemudian ada penambahan angka kematiannya.
Namun, di Indonesia, justru seperti ada upaya mengecilkan angka kematian dengan mengutak-atik definisinya, di antaranya dengan mengeluarkan mereka yang punya penyakit bawaan dari data kematian Covid-19.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama, juga mengaku heran dengan belum diadopsinya definisi kematian terkait Covid-19 di Indonesia.
”Ini sudah lama dibahas di bawah. Namun, rupanya di atas pendapatnya berbeda,” kata Tjandra.
Epidemiolog dari Universitas Jenderal Soedirman Yudhi Wibowo mengatakan, pemerintah Indonesia masih belum transparan terkait kematian Covid-19, bahkan ada indikasi mengecilkan jumlah kasus.
Data kematian, kata Yudhi, menjadi politis padahal masyarakat butuh transparansi agar bisa menyikapi situasi dengan lebih baik. Data kematian yang akurat juga penting bagi kebijakan.
Yudhi mencontohkan, WHO sudah merekomendasikan penggunaan tes antigen untuk surveilans dan hal ini sudah pula diadopsi oleh Kemenkes.
”Namun, klaim kematian karena Covid-19 oleh rumah sakit belum bisa dilakukan kalau hanya dengan antigen, harus pakai PCR. Data kematian dengan korban dengan antigen tidak dimasukkan dalam data kematian Covid-19 secara nasional,” kata Yudhi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.