"Mengenai independensi dunia peradilan ini sikap saya terhadap ini adalah ketika seorang hakim apakah dia hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung dalam mengadili perkara itu memang tidak bisa dicampur atau dipengaruhi boleh pemerintah dalam hal ini atau siapa pun," jawab Adly.
Jimly kemudian menanyakan kembali bagaimana cara dan contoh yang dilakukan Adly dalam memisahkan dunia peradilan dan dunia biasa.
Baca juga: Calon Hakim Agung Ini Tawarkan Konsep Hukuman Minimal untuk Koruptor, asal...
Adly pun menjawab saat ia dinyatakan lolos menjadi hakim tindak pidana korupsi, ia langsung menutup kantor advokat miliknya.
Kemudian, ia juga mengganti pergaulan bersama advokat dan diganti dengan pergaulan lain yang tidak ada hubungannya dengan advokat.
"Kemudian di pergaulan sehari-harinya ketika saya sudah menjadi hakim pun saya hanya bergaul dengan tempat saya bekerja dan lingkungan tempat saya tinggal serta lingkungan tempat saya beribadah. Ini sikap yang saya lakukan sampai hari ini," ujar Adly.
4. Restorative justice diperkara pidana anak
Calon hakim agung Suharto berpendapat, restorative justice merupakan pendekatan utama dalam penyelesaian perkara pidana pada anak.
Restorative justice adalah pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
"Jadi konsepnya sebetulnya restorative justice, jadi ada mekanisme diversi, inti pokoknya ke sana," kata Suharto dalam wawancara terbuka yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial, Rabu (4/8/2021).
Namun, Suharto juga menuturkan bahwa terdapat beberapa masalah dalam mencapai pendekatan ini pada peradilan anak.
Baca juga: Calon Hakim Agung Paparkan Penyebab Banyaknya Pengajuan Kasasi ke MA
Pertama, proses pemberian vonis yang dilakukan oleh hakim tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan yang dimaksud Suharto adalah Pasal 26 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Berdasarkan undang-undang tersebut, pidana penjara yang diberikan pada anak paling lama separuh dari maksimal ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
"Hanya tatkala anak menghadapi persoalan pidana atau anak berhadapan dengan hukum itu akhirnya para hakim menjatuhkan separuh (dari) minimal (ancaman pidana). Ini problem di yuridis dan problem di praktik," ucap dia.
Masalah kedua, dalam pandangan Suharto, adalah dukungan masyarakat dalam penyelesaian kasus pidana anak dengan korban meninggal dunia.
Baca juga: Calon Hakim Agung Ini Nilai Restorastive Justice Pendekatan Utama Selesaikan Pidana Anak
"Untuk perkara-perkara besar apalagi yang menimbulkan korban nyawa, ini dukungan masyarakat pada penegakan hukum pada anak yang berhadapan dengan hukum menjadi problema," kata Suharto.
"Ada banyak kasus yang korbannya anak, pelakunya anak, nah ini tatkala akan diarahkan ke diversi, ini perasaan keadilan masyarakat agak menjadi persoalan," kata dia.
Persoalan itu, kata Suharto, menjadi dilematis ketika di satu sisi masyarakat dari pihak korban menuntut hukum ditegakkan pada pelaku yang masih berstatus anak.
"Mempertemukan ini memang agaknya mengalami kesulitan tapi di beberapa hal sepanjang persoalannya itu tidak nyawa, persolannya hanya penganiayaan, atau tidak menyangkut hal-hal asusila, untuk (upaya) diversi sangat mungkin (dilakukan)," papar dia.
Adapun diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Baca juga: Calon Hakim Agung Ini Sebut Banyak Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi yang Tak Kembali
Hal itu tertuang dalam Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
5. Marak pengajuan kasasi
Suharto juga menjawab penyebab banyaknya pengajuan kasasi dan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Awalnya, Komisioner Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menanyakan penyebab banyaknya pengajuan kasasi dan PK ke MA pada tahun 2020.