Komentar itu datang tak lama setelah roman Kalau tak Untung diterbitkan Balai Pustaka di Batavia, nama lama Jakarta pada 1933.
Sariamin bertutur, saat itu dia hanya diam. Komentar tersebut datang saat dia bersama sejumlah teman sedang mendengarkan siaran radio di rumah Cik Nuraimah, guru mereka ketika di Meisjes Normaal School, Padangpanjang, Sumatera Barat.
Meisjes Normaal School adalah sekolah guru perempuan. Selepas dari sekolah ini, Sariamin sempat menjadi guru di Bengkulu, lalu Talukkuantan di Riau, dan terakhir berlabuh di Pekanbaru hingga dia meninggal.
Radio yang mengundang komentar sang kawan, waktu itu tengah mengudara dengan topik sastra yang membahas roman karya Sariamin.
"Saat itu Ibu hanya berdiam diri, tetapi sangat bahagia. Roman Ibu ternyata diterima baik. Mereka tidak mengetahui bahwa Selasih adalah nama samaran Ibu," tutur Sariamin.
Karya-karya Sariamin beragam, mulai dari drama, roman, bahkan buku tata bahasa dan sastra. Sibuk dengan aneka aktivitas saat di Pekanbaru, Sariamin sempat mandek berkarya.
Hingga, pada medio 1980-an, dia disambangi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef. Dia diminta menulis lagi dan mendapat janji setiap tulisannya akan diterbitkan.
Pada kurun 1981-1986, Sariamin menghasilkan 21 buku fiksi dan Kamus Minangkabau. Satu dari dua putri Sariamin, Nafirion, bahkan menyebut ibunya masih aktif menulis hingga 1993.
Dalam tulisan harian Kompas edisi 11 Januari 1981, Sariamin mengungkap latar belakang banyaknya nama samaran yang dia punya. Ternyata, setiap kali dia pindah domisili maka nama samarannya pun berganti.
Alasan berikutnya adalah keamanan. Tulisan-tulisannya kerap dianggap pedas oleh penguasa colonial Belanda.
Seperti dituturkan Sariamin dalam tulisan di harian Kompas edisi 29 Maret 1990, koran-koran tempat tulisannya kerap dimuat sudah rutin kena denda 35-60 gulden karena menolak mengungkap identitas Sariamin yang tulisannya tayang menggunakan nama samaran.
Buat gambaran nilai uang pada saat itu, di harian Kompas edisi 15 September 1972, Sariamin bercerita tentang honornya menulis roman Kalau Tak Untung. Dia mendapat bayaran 500 gulden, yang dia sebut saat itu bisa untuk membeli 20 ton beras.
Sariamin meninggal tanpa didahului sakit pada Jumat pagi, 15 Desember 1995. Duka datang dari banyak kalangan, termasuk budayawan dan pegiat film seperti mendiang Soeman Hasibuan-lebih dikenal sebagai Soeman Hs-dan Jajang C Noer.
Ketika banyak perempuan—tak hanya di Indonesia—masih sulit berkiprah apalagi mendaku eksistensi, Sariamin membuktikan diri dengan karya-karya besar.