JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 2021 atau dikenal dengan Kudatuli merupakan catatan kelam dualisme partai politik yang diintervensi oleh kekuasaan.
Konflik internal partai politik ini berujung pada kerusuhan yang terjadi di ibu kota dan dari peristiwa ini pula terbentuk sosok Megawati Soekarnoputri yang kita kenal saat ini.
Guncangan bermula saat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang saat itu diketuai oleh Soerjadi berhasil membawa Megawati Soekarnoputri bergabung dengan PDI pada 1987.
Kehadiran Megawati dan Guruh Soekarnoputra saat itu mendongrak elektabilitas PDI dalam Pemilu, yang sebelumnya selalu meraih suara terkecil dari partai politik yang ada yaitu Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.
Karier politik Megawati bersama PDI melejit pada Pemilu 1987 dan 1992. Keberhasilan Mega ini mengusik pemerintah Orde Baru sehingga skenario untuk menggembosi Megawati mulai dilakukan.
Popularitas Megawati di PDI juga membuat Soerjadi tertekan dan khawatir ketokohannya tergeser.
Pada 1993, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya. Dengan perolehan suara terbanyak, ia berhasil merebut kursi Ketum dari Soerjadi.
Baca juga: Kasus Kudatuli yang Tak Tuntas Saat Megawati Menjabat Presiden...
Namun, pemerintah Orde Baru semakin tidak puas dengan terpilihnya Megawati.
Pada 1996, Kongres PDI yang digelar di Medan digunakan pemerintah untuk mendongkel Megawati. Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI dan hasil kongres itu diakui dan didukung pemerintah.
Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung bahkan hadir memberi restu.
Sementara di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, unjuk rasa digelar memprotes PDI versi Soerjadi yang dibekingi pemerintah. Dukungan untuk Megawati pun mengalir deras.
Megawati saat itu juga menggerakkan mimbar bebas di DPP PDI di Jalan Diponegoro. Mimbar bebas tersebut digelar setiap hari.
Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) mencatat, mimbar tersebut tak disukai ABRI dan polisi. Bahkan, Pangab Jenderal Feisal Tanjung menuduh mimbar tersebut sebagai makar.
"Itu bukan bangsa Indonesia lagi. Saya kira itu PKI," kata Feisal.
Megawati membantah tuduhan tersebut. Ia menyebutkan kegiatannya tak ditutup-tutupi dan tak ada agenda makar.
Baca juga: Perjalanan PDI Perjuangan: dari Kudatuli, Oposisi, Dominasi, hingga Pandemi
"Kalau saya mau membuat makar tentu sudah saya lakukan. Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan," kata Megawati di depan puluhan wartawan asing dan nasional di akhir Juli 1996.
Saat itu, PDI Kubu Megawati mulai menjaga kantor DPP siang dan malam seiring beredarnya isu akan ada perebutan DPP.
Pada 27 Juli 1996, kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati digeruduk pendukung PDI kubu Soerjadi.
Menurut catatan Harian Kompas, massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.
Awalnya, dialog antar perwakilan massa PDI kubu Soerjadi dan PDI kubu Megawati sempat terjadi selama 15 menit. Namun, pagi itu, kesepakatan tidak tercapai sehingga bentrokan antar kubu tak bisa dibendung.
Aparat keamanan segera mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI dua jam setelah terjadi bentorkan. Gedung itu dinyatakan sebagai area tertutup. Ruas Jalan Diponegoro tidak dapat dilewati.
Puluhan pendukung Mega mengalami luka akibat saling lempar batu dan sebagian dari mereka ada yang diamankan.
Memasuki siang hari, massa yang memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya semakin banyak.
Mereka tidak hanya PDI pendukung Megawati, melainkan para aktivis LSM dan mahasiswa yang menggelar aksi mimbar bebas di dekat Stasiun Cikini.
Aksi mimbar bebas ini melebar ke Jalan Diponegoro, yang kemudian berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dan aparat keamanan.
Setelah itu, massa terdesak mundur ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Jalan Salemba. Kemudian, massa membakar tiga bus kota dan beberapa gedung di Jalan Salemba.
Kerusuhan baru dapat diredam pada malam hari, informasi tentang jumlah korban tewas dan luka pasca-kerusuhan itu simpang siur. Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso mengatasi "hanya" dua orang yang tewas dan 26 luka-luka.
Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI
Sementara, YLBHI menyatakan, ada 47 orang dirawat di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini, dan 1 orang di RS Fatmawati.
Namun, berdasarkan kesimpulan Komnas HAM tercatat ada 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan akibat peristiwa itu. Komnas HAM ikut melakukan penyelidikan dengan kewenangan terbatas, tetapi tak pernah ada tindak lanjut.
Di samping itu, Pihak ABRI menuding kerusuhan tersebut dimotori kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Partai Rakyat Demokratik (PRD) pun turut dituding jadi dalang kerusuhan. Aktivis PRD Budiman Sudjatmiko yang kini jadi anggota DPR dari PDI-P dijebloskan ke penjara dengan hukuman 13 tahun penjara.
Kekalahan ini justru membuat posisi politiknya semakin dikenal dalam panggung politik. PDI Perjuangan yang dibentuknya menang Pemilu pada 1999 dan membawanya menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pada era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka. Gus Dur memperhatikan betul penyelesaian kerusuhan 27 Juli sekaligus isyarat kuat dari Megawati.
Baca juga: Kronologi dan Detik-detik Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996
Namun, penyelidikan tidak berjalan lancar karena para penyidik diteror untuk tidak melanjutkan.
Di sisi lain, masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan kerusuhan 27 Juli 1996 sangat lambat.
Pada 2001, penyelesaian kerusuhan 27 Juli 1996 masih terhambat meski Megawati kala itu sudah menjabat sebagai Presiden
Hal ini diisinyalir ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden 27 Juli 1996, mengingatkan dukungan PDI-P belum sepenuhnya terkonsolidasi dan dibutuhkan dukungan militer.
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi pengacara korban beberapa kali menanyakan komitmen Megawati dalam menuntaskan kasus 27 Juli 1996.
Megawati dalam pertemuan dengan TPDI menyadari dirinya mempunyai tanggung jawab moral terhadap korban. Namun, ia masih membutuhkan waktu untuk mengetahui tingkat resistensi militer.
Menurut Megawati penyelesaian Kudatuli tidak perlu melibatkan semua tentara, tetapi melibatkan satu orang yang diadili yaitu Pangab Jenderal (Purn) Feisal Tanjung.
Baca juga: Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang Usai Peristiwa Kudatuli 1996
Namun, TNI keberatan atas permintaannya. Sebab, jika Feisal yang diminta pertanggungjawaban, itu sama saja dengan menggugat kebijakan TNI secara keseluruhan.
Megawati akhirnya memilih menjaga hubungan baik dengan militer.
Adapun, pengadilan yang digelar pada era Megawati hanya membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI.
Jonathan dihukum dua bulan 10 hari. Sementara dua perwira militer yang disidang, yaitu Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya), divonis bebas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.