JAKARTA, KOMPAS.com - Tindakan korektif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dinanti banyak pihak.
Berbagai pihak mendesak KPK menindaklanjuti hasil temuan Ombudsman soal malaadministrasi berlapis dalam proses alih status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Dalam konferensi pers, Rabu (21/7/2021) anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, menyampaikan beberapa temuan, antara lain malaadministrasi yang dilakukan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) karena melakukan kontrak back date.
Baca juga: Temuan Malaadministrasi TWK Pegawai KPK: Kontrak Backdate hingga Abaikan Presiden
Artinya, tanggal penandatanganan kontrak terkait pelaksanaan TWK ditulis mundur atau tidak sesuai. Nota kesepahaman ditandatangani 8 April 2021, sedangkan kontrak swakelola 20 April 2021.
Namun, tanggal penandatanganan itu diganti untuk menunjukkan seolah dua surat tersebut telah ditandatangani 3 bulan sebelumnya, yaitu 27 Januari 2021.
Sehingga, pelaksanaan TWK pada 9 Maret 2021 dilaksanakan tanpa adanya dua surat kontrak tersebut.
"Ini penyimpangan prosedur yang buat kami cukup serius, baik dalam tata kelola suatu lembaga dan terkait masalah hukum," ucap Endi.
Kemudian, keputusan KPK terkait penonaktifan 75 pegawai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembebastugasan 75 pegawai yang dinyatakan tak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) itu tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021.
SK tersebut ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri pada 7 Mei 2021.
Berdasarkan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), MK menyatakan pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai.
Kemudian, MK mengatakan, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi dan dedikasinya dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan.
Baca juga: Ombudsman: KPK Abaikan Pernyataan Presiden Jokowi soal TWK
Selain itu, Endi menuturkan, KPK juga telah mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait pelaksanaan TWK.
Pada Senin (17/5/2021), Jokowi meminta alih status kepegawaian tidak merugikan hak pegawai KPK.
Kepala Negara juga meminta hasil TWK tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.
Kendati demikian, SK tersebut tidak juga dibatalkan. Bahkan KPK akan memberhentikan 51 pegawai karena tidak lolos TWK.
Sedangkan, 24 pegawai akan mendapat pendidikan wawasan kebangsaan agar bisa menjadi ASN.
Keputusan ini diambil dalam rapat koordinasi KPK dengan lima lembaga lain pada 25 Mei 2021.
Kelima lembaga itu yakni BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
"Bentuk pengabaian KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kuasa eksekutif terhadap penyataan Presiden," kata Endi.
Baca juga: Ombudsman: SK Penonaktifan Pegawai KPK Bertentangan dengan Putusan MK
Bentuk malaadministrasi lainnya yakni terkait Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 tahun 2021.
Sebab, Endi menuturkan, dalam Perkom tersebut tidak tercantum konsekuensi yang mesti ditanggung pegawai yang tidak lolos TWK.
Padahal, peraturan itu menjadi salah satu dasar hukum pelaksanaan TWK.
"Tidak diatur konsekuensi tersebut (TWK) dalam peraturan KPK," ucapnya.
KPK tak bisa abaikan Ombudsman
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai, pimpinan KPK tidak bisa mengabaikan hasil laporan Ombudsman.
Kendati Dewan Pengawas KPK menyatakan dugaan pelanggaran etik dalam pelaksanaan TWK tidak cukup bukti.
"Pimpinan KPK harus menjalankan perintah ORI dan mengabaikan Dewas, apalagi Dewas belum memeriksa pokok perkara, malah konferensi pers untuk menjelaskan tidak cukup bukti," kata Bivitri kepada Kompas.com, Senin (26/7/2021).
Bivitri beranggapan, putusan Dewas KPK tersebut janggal. Sebab, Ombudsman telah menemukan pelanggaran malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK.
Dengan adanya temuan pelanggaran malaadministrasi tersebut, menurut dia, dapat diartikan pimpinan KPK telah melakukan pelanggaran etika.
Baca juga: Putusan Dewas Dinilai Janggal, Pimpinan KPK Diminta Tindak Lanjuti Temuan Ombudsman
Oleh sebab itu, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini mengingatkan, pimpinan KPK tetap harus melaksanakan tindakan korektif yang diputuskan Ombudsman.
Bivitri menekankan, putusan Ombudsman bersifat final dan mengikat serta harus dipatuhi.
Ia menuturkan, putusan Dewas KPK tidak bisa dijadikan dalih oleh pimpinan KPK untuk menghindari rekomendasi Ombudsman.
"Konferensi pers Dewas KPK tidak dapat dijadikan alasan bagi pimpinan KPK untuk tidak melaksanakan laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman," ucap Bivitri.
Adapun, Ombudsman memberikan empat catatan atau tindakan korektif terkait temuan malaadaministrasi.
Pertama, KPK memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah.
Kedua, pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
Ketiga, hasil TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan, tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat.
Keempat, 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum 30 Oktober 2019.
KPK memiliki waktu 30 hari untuk melaksanakan tindakan korektif. Jika tidak, Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera meminta KPK melaksanakan tindakan korektif tersebut.
Menurut Mardani, KPK semestinya menjadi contoh bagi masyarakat dengan melaksanakan saran Ombudsman.
"Jika KPK tidak melaksanakan saran Ombudsman maka ini pertunjukan buruk pada rakyat apalagi di masa pandemi," kata Mardani, saat dihubungi, Selasa (27/7/2021).
Baca juga: Jika KPK Tak Laksanakan Tindakan Korektif, Ini Pertunjukan Buruk pada Rakyat
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menegaskan, tindakan korektif dari Ombudsman wajib dilaksanakan, apalagi oleh lembaga negara seperti KPK.
Di sisi lain, putusan Dewan Pengawas KPK yang menyebut tidak ada persoalan etik dalam proses TWK, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan tindakan korektif.
"Keputusan Dewas KPK tidak menganulir tindakan korektif Ombudsman. Tetap laksanakan," ujar dia.
Ia juga mendorong agar Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikan polemik TWK pegawai KPK.
"Pak Jokowi perlu mengawal proses ini karena ini bagian dari tugas kepala negara menjaga etika publik ditegakkan di negeri ini," kata Mardani.
Desakan guru besar antikorupsi
Sejumlah Guru Besar antikorupsi juga mendesak pimpinan KPK untuk mengangkat 75 pegawai yang sebelumnya dinyatakan tak lolos TWK.
Menurut salah satu Guru Besar antikorupsi, Azyumardi Azra, ada dua alasan yang mendasari desakan tersebut.
"Pertama, selaku aparat penegak hukum sudah selayaknya KPK taat atas keputusan lembaga negara yang dimandatkan langsung oleh undang-undang untuk memeriksa malaadministrasi," sebut Azra dalam keterangan tertulis, Selasa (27/7/2021).
Azra menjelaskan hal ini diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang tentang Ombudsman yang menyebut bahwa terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman.
"Jadi masyarakat tentu tidak berharap KPK menggunakan dalih-dalih lain untuk menghindar dari kewajiban ini," kata dia.
Baca juga: Pusako: Temuan Ombudsman soal Malaadministrasi TWK Dapat Jadi Alat Bukti yang Kuat
Alasan kedua, lanjut Azra, laporan Ombudsman penting ditindaklanjuti di tengah ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga antirasuah itu.
"Temuan lembaga-lembaga survei pada sepanjang 2020 sangat miris. KPK yang sediakala selalu mendapatkan apresiasi oleh masyarakat, sekarang justru bertolak belakang," jelas Azra.
"Anomali ini mesti disikapi secara bijak dan profesional, setidaknya malaadministrasi TWK ini dapat menjadi evaluasi mendasar bagi KPK," tutur dia.
Selain itu, para Guru Besar juga berharap Presiden Joko Widodo mengambil tindakan atas perkara ini dengan memerintahkan Pimpinan KPK melantik 75 pegawai menjadi ASN.
"Atau Presiden mengambil alih untuk melaksanakan putusan Ombudsman dan melakukan proses pelatikan pegawai KPK," imbuhnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.