JAKARTA, KOMPAS.com - Tim 75 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyiapkan informasi dan data tambahan untuk memperkuat laporan dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK atas pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Hal itu dilakukan menyusul pernyataan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang menyebutkan bahwa Dewas tidak melanjutkan dugaan pelanggaran etik terhadap lima pimpinan KPK yang dilaporkan Tim 75 karena tidak cukup bukti.
"Teknis dan timing-nya (penambahan informasi dan data) masih dibicarakan," kata Anggota Tim 75 Budi Agung Nugroho kepada Kompas.com, Selasa (27/7/2021).
Budi mengatakan, informasi dan data yang disiapkan itu nantinya juga akan ditambah dengan temuan malaadministrasi Ombudsman RI terkait TWK pegawai KPK.
Selain itu, Tim 75 juga masih menunggu hasil keputusan Komnas HAM RI terkait dugaan pelanggaran HAM atas kebijakan tes wawasan kebangsaan.
Baca juga: Malaadministrasi Proses TWK, KPK Punya Waktu 30 Hari Tindak Lanjuti Temuan Ombudsman
"Putusan ombudsman bersifat mengikat, semoga pihak terlapor (KPK) taat. Kami pun masih menunggu hasil putusan Komnas HAM dalam minggu ini," ucap Budi.
"Segala upaya melalui instrumen yang disediakan Undang-Undang akan kami tempuh. Semoga putusan ORI dan Komnas HAM sudah cukup untuk dipatuhi semua pihak," tutur dia.
Malaadministrasi berlapis
Ombudsman RI telah menyampaikan hasil temuan soal malaadministrasi dalam penyelenggaraan TWK.
Dalam konferensi pers, Rabu (21/7/2021) anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menyampaikan beberapa temuan antara lain maladministrasi dilakukan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) karena melakukan kontrak back date.
Kontrak back date dilakukan dengan menuliskan tanggal mundur yang tidak sesuai dengan tanggal penandatanganan kontrak.
Nota kesepahaman ditandatangani 8 April 2021, sedangkan kontrak swakelola 20 April 2021.
Baca juga: Anies Bungkam Ketika Ditanya soal Rencana Pemeriksaan oleh KPK
Namun, tanggal penandatanganan itu diganti untuk menunjukkan seolah dua surat tersebut telah ditandatangani 3 bulan sebelumnya, yaitu 27 Januari 2021.
Sehingga, pelaksanaan TWK pada 9 Maret 2021 dilaksanakan tanpa adanya dua surat kontrak tersebut.
"Ini penyimpangan prosedur yang buat kami cukup serius, baik dalam tata kelola suatu lembaga dan terkait masalah hukum," ucap Endi.
Kemudian, keputusan KPK terkait penonaktifan 75 pegawai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembebastugasan 75 pegawai yang dinyatakan tak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) itu tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021.
SK tersebut ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri pada 7 Mei 2021.
Baca juga: Dewas KPK Gelar Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Lili Pintauli Pekan Depan
Berdasarkan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), MK menyatakan pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Kemudian, MK mengatakan, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi dan dedikasinya dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan.
Selain itu, Endi menuturkan, KPK telah mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait pelaksanaan TWK.
Pada Senin (17/5/2021), Jokowi meminta alih status kepegawaian tidak merugikan hak pegawai KPK. Ia juga meminta hasil TWK tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.
Namun, SK tersebut tidak juga dibatalkan. Bahkan KPK akan memberhentikan 51 pegawai karena tidak lolos TWK.
Baca juga: Guru Besar Antikorupsi Desak Firli dkk Taati Ombudsman, Lantik 75 Pegawai KPK Jadi ASN
Sedangkan, 24 pegawai akan mendapat pendidikan wawasan kebangsaan agar bisa menjadi ASN.
Keputusan ini diambil dalam rapat koordinasi KPK dengan lima lembaga lain pada 25 Mei 2021.
Kelima lembaga itu yakni Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
"Bentuk pengabaian KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kuasa eksekutif terhadap penyataan Presiden," kata Endi.
Bentuk malaadministrasi lainnya yakni terkait Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 tahun 2021.
Baca juga: Jika KPK Tak Laksanakan Tindakan Korektif, Ini Pertunjukan Buruk pada Rakyat
Sebab, Endi menuturkan, dalam Perkom tersebut tidak tercantum konsekuensi yang mesti ditanggung pegawai yang tidak lolos TWK. Padahal, peraturan itu menjadi salah satu dasar hukum pelaksanaan TWK.
"Tidak diatur konsekuensi tersebut (TWK) dalam peraturan KPK," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.