Namun, Rosihan meminta izin supaya wartawan boleh maju sedikit lagi agar dapat melihat lebih jelas.
"Akhirnya perwira Polri yang tahu saya adalah wartawan senior, mengizinkan insan-insan pers maju lagi 25 meter," tutur Rosihan. Mereka sampai di sebuah jembatan kecil yang melintangi kali Jalan Surabaya.
Dari situ, Rosihan dan para wartawan bisa memandang luar ke kiri. Di depan markas PDI, tampak laki-laki tegap berpakaian hitam dengan tanda gambar banteng, dengan potongan rambut cepak, beramai-ramai melemparkan batu ke rumah yang sedang terbakar.
Serangan itu dibalas dengan sengit oleh pengikut Megawati dengan timpukan batu pula. Berdasarkan cerita yang Rosihan dengar dari seorang warga, gerombolan laki-laki penyerang markas PDI itu keluar dari bus-bus yang datang dan berhenti sejak pagi di jalan sekitar bioskop terdekat, Megaria.
Asap mengepul dari atap yang gentengnya sudah pecah-pecah. Rosihan tak melihat ada mobil pemadam kebakaran di sekitar situ. "Lama-lama rumah ini bisa terbakar habis," ucapnya.
Pasca-insiden itu, Megawati menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari menunggu hasil gugatan terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan. Megawati akhirnya kalah dalam gugatan itu. Kekalahan itu justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik.
PDI Perjuangan (PDI-P) yang dibentuknya menang dalam pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Memilih diam
Pada era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka. Namun, masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan 27 Juli 1996 sangat lambat.
Soerjadi dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilimpahkan ke kejaksaan.
Setelah menjadi presiden pada 2001, Megawati pun tetap memilih diam. Diduga ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden 27 Juli 1996.
Baca juga: Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Saat Megawati Melawan tetapi Berakhir Diam...
Menurut Peter Kasenda dalam Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) Megawati dihadapkan pada kebutuhan untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya.
Pertentangan kepetingan antara kebutuhan dukungan militer dan tuntutan korban serta keluarga korban membuat Megawati diam dan memilih menjaga hubungan baik dengan militer.
Bahkan, Sutiyoso yang menjabat Panglima Kodam Jaya pada 1996, didukung Megawati menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Pengadilan koneksitas yang digelar pada era Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Ia dihukum dua bulan 10 hari.
Sementara dua perwira militer yang disidang, yaitu Kol Czi Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya), divonis bebas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.