JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan tindakan korektif atas malaaministrasi dalam proses alih status kepegawaian melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Menurut Mardani, KPK semestinya menjadi contoh bagi masyarakat dengan melaksanakan saran Ombudsman.
"Jika KPK tidak melaksanakan saran Ombudsman maka ini pertunjukan buruk pada rakyat apalagi di masa pandemi," kata Mardani, saat dihubungi, Selasa (27/7/2021).
Baca juga: 4 Catatan untuk KPK Terkait Malaadministrasi Kebijakan Alih Status Pegawai
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menegaskan, tindakan korektif dari Ombudsman wajib dilaksanakan, apalagi oleh lembaga negara seperti KPK.
Di sisi lain, putusan Dewan Pengawas KPK yang menyebut tidak ada persoalan etik dalam proses TWK, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melakukan tindakan korektif.
"Keputusan Dewas KPK tidak menganulir tindakan korektif Ombudsman. Tetap laksanakan," ujar dia.
Ia juga mendorong agar Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikan polemik TWK pegawai KPK.
"Pak Jokowi perlu mengawal proses ini karena ini bagian dari tugas kepala negara menjaga etika publik ditegakkan di negeri ini," kata Mardani.
Baca juga: Putusan Dewas Dinilai Janggal, Pimpinan KPK Diminta Tindak Lanjuti Temuan Ombudsman
Diberitakan sebelumnya, Ombudsman memberikan empat catatan atau tindakan korektif terkait temuan malaadaministrasi dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Pertama, KPK memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah.
Kedua, pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
Ketiga, hasil TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan, tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat.
Keempat, 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum 30 Oktober 2019.
Malaadministrasi berlapis
Ombudsman RI telah menyampaikan hasil temuan soal malaadministrasi dalam penyelenggaraan TWK.
Dalam konferensi pers, Rabu (21/7/2021) anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menyampaikan beberapa temuan antara lain maladministrasi dilakukan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) karena melakukan kontrak back date.
Kontrak back date dilakukan dengan menuliskan tanggal mundur yang tidak sesuai dengan tanggal penandatanganan kontrak.
Nota kesepahaman ditandatangani 8 April 2021, sedangkan kontrak swakelola 20 April 2021. Namun, tanggal penandatanganan itu diganti untuk menunjukkan seolah dua surat tersebut telah ditandatangani 3 bulan sebelumnya, yaitu 27 Januari 2021.
Baca juga: Pusako: Temuan Ombudsman soal Malaadministrasi TWK Dapat Jadi Alat Bukti yang Kuat
Sehingga, pelaksanaan TWK pada 9 Maret 2021 dilaksanakan tanpa adanya dua surat kontrak tersebut.
"Ini penyimpangan prosedur yang buat kami cukup serius, baik dalam tata kelola suatu lembaga dan terkait masalah hukum," ucap Endi.
Kemudian, keputusan KPK terkait penonaktifan 75 pegawai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembebastugasan 75 pegawai yang dinyatakan tak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) itu tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021.
SK tersebut ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri pada 7 Mei 2021.
Berdasarkan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), MK menyatakan pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
Kemudian, MK mengatakan, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi dan dedikasinya dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan.
Baca juga: Ombudsman: SK Penonaktifan Pegawai KPK Bertentangan dengan Putusan MK
Selain itu, Endi menuturkan, KPK telah mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait pelaksanaan TWK.
Pada Senin (17/5/2021), Jokowi meminta alih status kepegawaian tidak merugikan hak pegawai KPK. Ia juga meminta hasil TWK tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.
Namun, SK tersebut tidak juga dibatalkan. Bahkan KPK akan memberhentikan 51 pegawai karena tidak lolos TWK.
Sedangkan, 24 pegawai akan mendapat pendidikan wawasan kebangsaan agar bisa menjadi ASN.
Keputusan ini diambil dalam rapat koordinasi KPK dengan lima lembaga lain pada 25 Mei 2021.
Kelima lembaga itu yakni Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
"Bentuk pengabaian KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kuasa eksekutif terhadap penyataan Presiden," kata Endi.
Baca juga: Ombudsman: KPK Abaikan Pernyataan Presiden Jokowi soal TWK
Bentuk malaadministrasi lainnya yakni terkait Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 tahun 2021.
Sebab, Endi menuturkan, dalam Perkom tersebut tidak tercantum konsekuensi yang mesti ditanggung pegawai yang tidak lolos TWK. Padahal, peraturan itu menjadi salah satu dasar hukum pelaksanaan TWK.
"Tidak diatur konsekuensi tersebut (TWK) dalam peraturan KPK," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.